BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah satu agenda reformasi yang dicita-citakan untuk
dicapai adalah pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya. Otonomi daerah
adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Penyerahan wewenang ini lazim disebut dengan
desentralisasi. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu juga diarahkan untuk
meningkatkan daya saing daerah berdasarkan potensi yang dimiliki.
Penyelenggaran desentralisasi ini tentu saja memerlukan sumber
pendanaan yang besar. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan
terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti
dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah. Sesuai
pasal 5 UU No. 33 tahun 2004, sumber pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan
Lain-lain Pendapatan Yang Sah. Penyerahan urusan dan pemberian sumber pendanaan
dalam bentuk kebijakan perimbangan keuangan pada daerah otonom, pada hakekatnya
ditujukan untuk memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah dalam menyikapi
aspirasi masyarakat dan prioritas daerah guna mempercepat upaya peningkatan
kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat di daerah, serta secara
lebih luas diharapkan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
daerah.
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
menurut Ketentuan Umum UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil,
proporsional, demikratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka
pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi,
kondisi, dan kebutuhan daerah.
Kebijakan perimbangan keuangan atau ditekankan pada empat
tujuan utama, yaitu: (a) memberikan sumber dana bagi daerah otonom untuk
melaksanakan urusan yang diserahkan yang menjadi tanggungjawabnya; (b)
mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
dan antar pemerintah daerah, (c) meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan
publik dan mengurangi kesenjangan kesejahteraan dan pelayanan publik antar
daerah; serta (d) meningkatkan efisiensi, efektifitas dan akuntabilitas
pengelolaan sumber daya daerah, khususnya sumber daya keuangan.
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH),
Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah
dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan
sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah.
Selama beberapa tahun terakhir jumlah dana perimbangan yang
dialokasikan bagi daerah terus mengalami peningkatan. Meskipun demikian,
pemerintah mengakui kebijakan transfer ke daerah dalam mengurangi ketimpangan
vertikal antara pusat dan daerah melalui DBH dan meminimalkan kesenjangan
fiskal antar daerah melalui DAU dan DAK, masih menghadapi tantangan yang cukup
berat dengan adanya alokasi dana penyesuaian tertentu yang belum sepenuhnya
berdasarkan formula dan kriteria. Pemerintah tentunya terus berupaya untuk
melakukan reformulasi kebijakan dana perimbangan setiap tahun sehingga
diharapkan dapat mendukung kebutuhan pendanaan pembangunan, terutama bagi
daerah-daerah marjinal. Jika kita melihat komposisi sumber pendapatan tiap
daerah (kabupaten/kota), dana perimbangan ini mempunyai peran yang sangat
vital.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, proporsi dana
perimbangan terhadap total pendapatan daerah secara nasional mencapai rata-rata
73%. Dari angka tersebut jelaslah bahwa daerah masih tergantung
pada dana perimbangan tersebut guna menjalankan berbagai program dan kegiatan
pembangunannya. Oleh karena merupakan komponen terbesar dalam alokasi transfer
ke daerah, dana perimbangan memiliki peranan yang sangat penting bagi keuangan
daerah, terutama dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi
daerah. Pemerintah pun terus melakukan perbaikan secara terus menerus terhadap
mekanisme penyaluran transfer ke daerah.
Secara normatif, instrumen dana perimbangan sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terdiri dari DBH, DAU, dan DAK. Namun,
dalam praktik, selain ketiga dana tersebut, dikenal juga adanya dana Otonomi
Khusus/Istimewa, yang khusus diperuntukkan bagi satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa, seperti Papua, Papua Barat, Yogyakarta, Aceh, dan
Jakarta. Berdasarkan penjelasan di
atas, tentunya menarik untuk mengetahui perimbangan keuangan antara Pusat dan
Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan perimbangan
keuangan antara Pusat dan Daerah yang bersifat khusus/istimewa dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang sebagaimana telah dijelaskan di atas, rumusan masalah dalam
tulisan ini adalah:
1.
Bagaimana perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia?
2.
Bagaimana perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang bersifat
khusus/istimewa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Transfer kewenangan
Penyerahan sumber-sumber keuangan kepada daerah oleh
pemerintah pusat sangat erat kaitnnya dengan penyerahan urusan pemerintahan
kepada daerah sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi. Oleh karena
itu, sumber-sumber keuangan yang diserahkan kepada daerah mestinya sebanding
dengan tugas dan tanggung jawab yang diserahkan kepada daerah untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan. Dengan perkataan lain, perimbangan keuangan
harus menunjukkan bahwa penyerahan urusan-urusan pemerintahan yang menjadi
wewenang daerah mencerminkan adanya keseimbangan dengan penyerahan pengelolaan
dan pemanfaatan sumber-sumber keuangan yang ada di daerah.
Apabila dikaitkan dengan batasan perimbangan keuangan yang merupakan
isi dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah, persoalan hubungan keuangan
yang paling penting untuk diperhatikan ialah apa yang menjadi beban pemerintah
pusat di dalam melaksanakan tanggung jawab pemerintahan yang menjadi tugas dan
kewajiban pemerintah pusat, dan apa yang dibebankan kepada pemerintah daerah
sebagai tanggung jawab dalam mengatur dan mengurus pemerintahan daerah. Dan
perimbangan keuangan tidak berarti pemberian sumber-sumber keuangan natara
pusat dan daerah dalam negra kesatuan pada hakikatnya tetap merupakan subsidi
dari pemerintah pusat kepada daerah.
Pemerintah daerah juga harus mempunyai kemampuan untuk menentukan
secara obyektif kebutuhan akan keuangan yang diperlukan untuk membiayai
penyelenggaraan dan menyediakan pelayanan yang diperlukan masyarakat daerah.
Artinya pemerintah daerah harus dapat melakukan perhitungan-perhitungan yang
matang dan rasional mengenai rencana kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan
sehubungan dengan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah, berdasarkan
rencana kegiatan tersebut, pemerintah daerah harus dapat menentukan secara
tepat dan obyektif rencana pembiayaan masing-masing kegiatan, sehingga akan
diketahui kebutuhan keuangan yang diperlukan dalam satu tahun anggaran.
Pemerintah pusat harus dapat
memberikan subsidi yang adil dan terukur kepada masing-masing daerah untuk
membiayai kekurangan dana, artinya pemerintah pusat harus cermat melihat
kondisi obyektif dari suatu daerah sehingga dalam menentukan besarnya subsidi
harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang dapat diterima oleh daerah
penerima subsidi.
Untuk mengeliminasi anggapan yang sering dikeluhkan oleh daerah-daerah
yang memiliki potensi sumber daya alam, bahwa dana perimbangan yang berasal
dari dana alokasi umum adalah merugikan mereka, maka yang harus dilakukan oleh
pemerintah pusat dalam mengeluarkan regulasi harus sebanyak mungkin melibatkan
komponen masyarakat daerah.
Secara normatif keterlibatan masyarakat dalam menentukan besarnya
prosentase dana yang berasal dari dana alokasi umum telah diwakili oleh DPR
sebagai representasi dari rakyat. Di samping itu, berdasarkan ketentuan pasal
22D ayat (2) UUD NRI 1945, dapat diketahui bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
ikut membahas rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Dengan demikian, keterlibatan DPD dalam membahas RUU
tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan suatu keharusan. Namun
dalam pembentukannya, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sama sekali tidak melibatkan DPD. Hal
ini dapat dimaklumi oleh karena pada saat itu lembaga DPD belum terbentuk.
Apabila sumber-sumber keuangan
daerah dikaitkan dengan urusan-urusan pemerintah daerah, maka dapat diketahui
bahwa penyerahan sumber-sumber keuangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah belum mencerminkan besarnya kewenangan yang diserahkan kepada daerah,
karena berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah
daerah adalah semua urusan pemerintahan kecuali urusan politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
Namun dengan dibentuknya undang-undang baru mengenai pemerintahan
daerah yaitu UU No. 23 Tahun 2014, urusan-urusan pemerintahan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah menjadi semakin jelas. Apabila dana perimbangan
yang menjadi sumber keuangan daerah seperti tercantum dalam UU No. 33 Tahun
2004 dikaitkan dengan urusan-urusan pemerintahan dalam UU No. 23 Tahun 2014,
maka dapat diketahui bahwa urusan-urusan pemerintahan daerah yang didanai oleh
salah satu jenis dana perimbangan yaitu dana alokasi umum ialah diantaranya
urusan pemerintahan konkuren baik itu urusan wajib maupun pilihan seperti
urusan di bidang pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, pertanahan, dan
urusan-urusan lainnya yang diserahkan ke daerah, dimana urusan-urusan tersebut
menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah.
Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan
sebagai dasar dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan. Adapun klasifikasi
urusan pemerintahan menurut Pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, tentang
Pemerintahan Daerah adalah :
1)
Urusan Pemerintahan
terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan
urusan pemerintahan umum.
2)
Urusan pemerintahan
absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
3)
Urusan pemerintahan
konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
4)
Urusan pemerintahan
konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
5)
Urusan pemerintahan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Dari klasifikasi urusan pemerintahan tersebut di
atas, maka pengaturan pembiayaan Daerah dilakukan berdasarkan asas
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
1.
Urusan pemerintahan di
daerah berdasarkan asas desentralisasi
Desentralisasi adalah
penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom
berdasarkan Asas Otonomi. dalam pelaksanaan asas desentralisasi dapat
mengacu pada urusan pemerintahan konkuren, dimana urusan konkuren adalah urusan
pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan didaerah menjadi
dasar pelaksanaan otonomi daerah.
Urusan pemerintahan
konkuren yang menjadi kewenangan daerah adalah urusan pemerintahan wajib dan
urusan pemerintahan pilihan. Urusan pemerintahan wajib terdiri atas urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan yang tidak berkaitan
dengan pelayanan dasar. Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerahkabupaten/kota didasarkan pada
prinsip akuntabilitas, efisiensi, daneksternalitas, serta kepentingan strategis
nasional.Sejalan dengan pembagian kewenangan yang
disebutkan di atas maka Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan
Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan
dan/atau ditugaskan kepada Daerah. Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah meliputi:
a.
pemberian sumber
penerimaan Daerah berupa pajakdaerah dan retribusi daerah;
b.
pemberiandanabersumberdariperimbangankeuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
c.
pemberian dana
penyelenggaraan otonomi khususuntuk Pemerintahan Daerah tertentu yang
ditetapkandalam undang-undang; dan
d.
pemberian pinjaman
dan/atau hibah, dana darurat,dan insentif (fiskal).
Pengaturan pembiayaan
Daerah berdasarkan asas desentralisasi yaitu Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dilakukan atas beban APBD.[14][14] Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi,kepada Daerah diberikan
kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi
hasil penerimaan(revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal
sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD.
Secara umum, sumber dana
bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, danaperimbangan (dana bagi
hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasikhusus) dan pinjaman daerah,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh
Pemerintah Daerahmelalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh
PemerintahPusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah.
Dana Perimbangan
bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
antara Pemerintahan Daerah.Sesuai dengan ketentuan UU No.23 Tahun 2014,
dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang
terdiri atas Dana Bagi Hasil, DanaAlokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Dana
perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai
kewenangannya juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan
pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan
pendanaan pemerintahan antar daerah.
Dana Bagi Hasil yang
selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan tertentu
APBN yangdialokasikan kepada Daerah penghasil berdasarkan angka persentase
tertentu dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara
PemerintahPusat dan Daerah.Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yangdialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah
dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya
disingkat DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yangdialokasikan
kepada Daerah tertentu dengan tujuan untukmembantu mendanai kegiatan khusus
yang merupakanUrusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Sesuai dengan Pengaturan
pembiayaan Daerah berdasarkan asasdesentralisasi yaitu Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dilakukan atas beban APBD, maka
kepala daerah sebagai kepala pemerintahan daerah mempunyai kewenangan menyusun
dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan
APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada
DPRD untuk dibahas bersama. Pertanggujawaban keuangan dalam pelaksanaan asas
desentralisasi juga diataur dalam undang-undang Nomor 17 tahun 2003, tentang
keuangan negara dalam pasal 31 menyebutkan bahwa : Gubernur/ Bupati/ Walikota
menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yangtelah diperiksa oleh Badan Peme-
riksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi
APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang
dilampiri dengan laporankeuangan perusahaan daerah.
2.
Urusan pemerintahan di
daerah berdasarkan asas Dekosentrasidan Tugas Pembantuan
Dekonsentrasi adalah
pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepadainstansi vertikal
di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai
penanggung jawaburusan pemerintahan umum. Sedangkan yang dimaksud dengan Tugas Pembantuan
adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari
Pemerintah Daerah provinsikepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.
Adapun klasifikasi urusan
pemerintahan yaitu, urusan pemerintahan Absolut, urusan pemerintahan konkuren
dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan absolut
terdiri dari politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan
fiskal nasional; dan agama.
Dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan absolut Pemerintah Pusat dapat melaksanakan sendiri atau melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal
yangada di Daerah atau gubernur sebagai wakil PemerintahPusat berdasarkan asas
Dekonsentrasi. Sedangkan Kriteria Urusan pemerintahan konkuren
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah :
a.
Urusan Pemerintahan yang
lokasinya lintas Daerahprovinsi atau lintas negara;
b.
Urusan Pemerintahan yang
penggunanya lintas Daerahprovinsi atau lintas negara;
c.
Urusan Pemerintahan yang
manfaat atau dampaknegatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
d.
UrusanPemerintahanyangpenggunaansumberdayanyalebihefisienapabiladilakukanolehPemerintah
Pusat; dan/atauUrusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagikepentingan
nasional
Selanjutnya dalam pasal
14 ayat 1 UU No. 23 tahun 2014, tentang pemerintahan daerah menyatakan bahwa :
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi
dan sumber daya mineral dibagiantara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.
Urusan pemerintahan
konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat diselenggarakan oleh
pemerintah pusat atau dengan melimpahkan kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat atau kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah berdasarkan
asas Dekonsentrasi dandengan cara menugasi Daerah berdasarkan asas Tugas
Pembantuan.
Instansi Vertikal
sebagaimana dimaksud dalam melaksanakan urusan pemerintah pusat yang
dilimpahkan kepada daerah dibentuk setelah mendapat persetujuan darigubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat. Sedangkan pembentukan Instansi Vertikal untuk
melaksanakan urusan pemerintahan absolut dan pembentukan Instansi Vertikal oleh
kementerian yang nomenklaturnya secarategas disebutkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak memerlukan persetujuan dari
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.Penugasan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah
berdasarkan asas Tugas Pembantuan ditetapkan dengan peraturan menteri/kepala
lembaga pemerintah nonkementerian.
Pengaturan selanjutnya
tentang Urusan Pemerintahan Umum dalam UU N0. 23 tahun 2014, yang menjelaskan
bahwa urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang
menjadikewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Urusan pemerintahan
umumdilaksanakan oleh gubernur dan bupati/wali kota di wilayah kerja
masing-masing. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum gubernur dan
bupati/wali kota dibantu oleh Instansi Vertikal. Dalam melaksanakan urusan
pemerintahan umum, gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri
dan bupati/ walikota bertanggung jawab kepada Menteri melalui gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat.Gubernur dan bupati/ walikota dalam melaksanakan urusan
pemerintahan umum dibiayai dari APBN.
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat di Daerah didanai dari dan atas beban APBN. Artinya Pemerintah mengalokasikan belanja dalam
rangka azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang bersifat langsung ke daerah
tanpa melalui APBD. dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang
menugaskan. Dengan demikian pertanggung jawaban keuangan
terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan melalui pelimpahan kewenangan
berdasarkan asas dekosentrasi adalah Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
bertanggungjawab kepada Menteri/ Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen
yang bersangkutan.Sedangkan pertanggung jawaban keuangan dalam pelaksanaan
Tugas Pembantuan adalah Pemerintah Daerah bertanggungjawab kepada Departemen/
Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menugaskannya.
Relevansi Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Pemberlakuan undang-undang baru mengenai pemerintahan daerah yaitu UU No. 23 Tahun
2014, urusan-urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
menjadi semakin jelas. Apabila dana perimbangan yang menjadi sumber keuangan
daerah seperti tercantum dalam UU No. 33 Tahun 2004 dikaitkan dengan
urusan-urusan pemerintahan dalam UU No. 23 Tahun 2014, maka dapat diketahui
bahwa urusan-urusan pemerintahan daerah yang didanai oleh salah satu jenis dana
perimbangan yaitu dana alokasi umum ialah diantaranya urusan pemerintahan
konkuren baik itu urusan wajib maupun pilihan seperti urusan di bidang
pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, pertanahan, dan urusan-urusan lainnya yang
diserahkan ke daerah, dimana urusan-urusan tersebut menjadi dasar pelaksanaan
otonomi daerah.
Sekalipun dengan dibentuknya UU No. 23 Tahun 2014 besarnya kewenangan
yang diserahkan kepada daerah terkait dengan penyerahan sumber-sumber keuangan
oleh pemerintah pusat kepada daerah yang tercermin dalam UU No. 33 Tahun 2004
dan urusan pemerintah daerah semakin jelas, namun di masa sekarang ini, UU No.
33 Tahun 2004 sudah tidak relevan lagi untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan
karena selain tidak terlibatnya DPD dalam pembahasan UU No. 33 Tahun 2004 yang
mengakibatkan kurang terakomodirnya kepentingan-kepentingan daerah dalam undang-undang
tersebut, juga karena terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam
pengelolaan hubungan keuangan pusat-daerah yaitu antara lain:
1.
Transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintahan daerah saat ini selalu dianggap sebagai bagian dari belanja
pemerintah pusat. Hal ini perlu diperbaiki oleh karena transfer dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah harus dipandang
sebagai transfer di antara dua entitas yang berbeda (inter-governmental
transfer). Hal ini akan membawa perubahan dalam prinsip
pertanggungjawaban dan pelaporan keuangan negara.
2.
Saat ini, diperlukan suatu grand design atas
desentralisasi fiskal Indonesia. Desentralisasi fiskal diarahkan untuk
mewujudkan alokasi sumber daya nasional
yang efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan dan
akuntabel.
3.
Perimbangan keuangan belum mencerminkan
prinsip money follow function. Meskipun
secara nominal, transfer daerah meningkat signifikan dalam kurun waktu lima
tahun terakhir (2009-2012), namun dari segi proporsional, transfer daerah tidak
beranjak dari 31% - 34% dari total belanja APBN yang rata-rata mengalami
peningkatan sebesar 5% - 10%. Kebijakan perimbangan keuangan yang seharusnya
mengikuti pembagian urusan, dengan proporsi saat ini belum sepenuhnya
menggambarkan prinsip money follow
function. Dari sisi prosedur kelembagaan, salah satu penyebabnya adalah
antara pembagian urusan dengan perimbangan keuangan diatur dalam kedua
Undang-undang terpisah. Pembagian urusan merupakan ranah Undang-undang
Pemerintah Daerah merupakan domain dari Kementerian Dalam Negeri, sementara
dana perimbangan merupakan domain dari Kementerian Keuangan. Sudah tidak
menjadi rahasia umum, ego sektoral antara Kementerian, masih menjadi penyebab
ketidaksinkronan antar aturan. Prinsip money
follow function ini harus dilaksanakan secara konsisten sehingga kewenangan
harus ditetapkan lebih dahulu baru kemudian menetapkan dan mentransfer dana
yang diperlukan. Melihat hal ini, maka perlu dibentuk UU
tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang baru yang didasarkan
atas UU No. 23 Tahun 2014.
4.
Perubahan cara pemberian bantuan dana dari
pemerintah pusat kepada daerah dengan formula dana alokasi umum (DAU) telah
menimbulkan beberapa persoalan yakni adanya perbedaan persepsi antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah mengenai tujuan DAU, pemerintah pusat melihat
bahwa DAU sebagai salah satu mekanisme pemerataan kemampuan keuangan antara
pusat dan daerah sesuai dengan amanat UU Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Daerah, sementara di pihak lain pemerintah daerah melihatnya sebagai alat utama
untuk mendukung proses penyediaan dana dalam rangka pelaksanaan program-program
pemerintahan dan pembangunan sebagaimana telah ditetapkan dalam APBD. Hal ini menimbulkan tidak adanya keterkaitan
dalam penggunaan DAU antara pusat dan daerah.
5.
Ketidakadilan dalam pembagian DAU. Selain
daerah yang mengalami kekurangan atas pembagian alokasi DAU, ternyata dalam
praktiknya terdapat beberapa daerah yang justru mengalami kelebihan pembagian
DAU. Pemerintah kabupaten kebagian Rp 24 trilyun dan propinsi mendapat bagian
sebesar Rp 4,5 trilyun.
6.
Kurang transparannya pemerintah pusat dalam
membagi DAU ke daerah.
Selain beberapa hal yang disebutkan diatas
didalam UU No. 23 Tahun 2014, telah mengalami beberapa perubahan terkait
dengan dana tranfer pemerintah Pusat
diantaranya
a.
Dana bagi hasil
Dana bagi hasil dalam UU No. 23 Tahun 2014
mengalami penambahan diantarannya sumber dana dari cukai, sumber dana dari
pajak telah dihapus bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Lahirnya UU No 28/2009 yang mengalihkan
sumber dana dari pajak ini menjadi pajak daerah, juga berimplikasi pada
pertentangan perimbangan keuangan yang masih memasukankomponen ini. Dengan kata
lain, UU No 33 tahun 2004 sudahtidak sesuai lagi dengan pekermbangan saat ini.
b.
Dana Perimbangan
Dalam perkembangannya, sejak tahun 2008 semakin
banyak dana perimbangan yang tidak sesuai dengan azas dana perimbangan seperti
program PNPM, Dana penyesuaian infrastruktur, tambahan tunjangan penghasilan
guru, dana insentif daerah dan dana lainnya. Dana-dana ini dikhawatirkan dapat
mengacaukan ketiga azas dana perimbangan yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Selanjutnya ada penambahan alokasi
dana perimbanganDaerah Provinsi yang Berciri Kepulauan, Pemerintah Pusat dalam
menyusun perencanaan pembangunan dan menetapkan kebijakan DAU dan DAK harus
memperhatikan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan.
B. Perimbangan Keuangan antara Pusat
dan Daerah yang Bersifat Khusus/Istimewa dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Salah satu hal penting dalam amandemen
UUD 1945 itu adalah munculnya Pasal 18 B
UUD 1945 (hasil amandemen kedua tahun 2000) yang menyebutkan bahwa Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan Pasal 279
ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Pusat
memiliki hubungan keuangan dengan Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan kepada Daerah. Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa memiliki kewenangan-kewenangan yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa.
Kewenangan khusus atau istimewa yang dimiliki
oleh Pemerintah Daerah yang bersifat khusus atau istimewa pada dasarnya adalah
kewenangan tambahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah
tertentu. Dengan demikian, daerah-daerah yang bersifat
khusus atau istimewa tidak hanya tunduk pada Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah, namun juga tunduk pada Undang-Undang yang mengatur tentang kekhususan
atau keistimewaan daerah tersebut.
Ada 4 (empat) Undang-Undang yang mengatur tentang
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, yaitu UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta, UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua, dan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus
untuk Pemerintahan Daerah Aceh, Yogyakarta, Papua, dan Jakarta merupakan
hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan
kepada Daerah. Salah satu sumber pendapatan Daerah yang memiliki otonomi khusus
atau istimewa adalah pendapatan transfer dari Pemerintah Pusat berupa dana
otonomi khusus dan dana keistimewaan.
Penyelenggaraan otonomi khusus bagi Aceh
adalah respon Pemerintah Pusat dan Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai salah satu solusi politik bagi penyelesaian persoalan
Aceh. Masyarakat Aceh memandang bahwa penyelenggaraan keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Acehkurang memberikan kehidupan di dalam keadilan atau keadilan
di dalam kehidupan, sehingga muncul pergolakan masyarakat di Provinsi Aceh.
Dengan diberlakukanya otonomi khusus bagi Aceh, berdasarkan Pasal 179 ayat (2)
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, salah satu sumber pendapatan
Daerah Aceh adalah Dana Otonomi Khusus.
Dana otonomi khusus sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan penerimaan
Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan
dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan
kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Dana Otonomi Khusus berlaku untuk jangka waktu
20 (dua puluh) tahun, untuk tahun pertama mulai berlaku sejak tahun anggaran
2008 dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan
tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana
Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua
puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum
Nasional. Penggunaan Dana Otonomi Khusus dilakukan untuk
setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh.
Selain dana otonomi khusus, Pemerintahan Aceh
juga mendapatkan tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi yang merupakan
bagian dari penerimaan Aceh sebesar 55% (lima puluh lima persen) dari
pertambangan minyak dan 40% (empat puluh persen) dari pertambangan gas bumi.
Secara umum, berdasarkan Pasal 14 huruf (f) dan (g), penerimaan Pertambangan
Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah
dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 84,5% (delapan puluh empat setengah
persen) untuk Pemerintah; dan 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah;
sedangkan untuk penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah
Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 69,5% (enam
puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah; dan 30,5% (tiga puluh
setengah persen) untuk Daerah.
Kewenangan Pemerintah Aceh untuk mengelola tambahan Dana
Bagi Hasil minyak dan gas bumi sebagai pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Aceh adalah bahwa paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari
pendapatan tersebut dialokasikan untuk membiayai pendidikan di Aceh, seperti
untuk peningkatan kapasitas aparatur, tenaga pendidik, pemberian bea siswa baik
ke dalam maupun ke luar negeri dan kegiatan pendidikan lainnya sesuai dengan
skala prioritas; dan paling banyak 70% (tujuh puluh persen) dari pendapatan
tersebut dialokasikan untuk membiayai program pembangunan yang disepakati
bersama antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah kabupaten/kota. Secara periodik, Pemerintah Aceh menyampaikan
laporan pelaksanaan pengalokasian dan penggunaan tambahan Dana Bagi Hasil
kepada Pemerintah Pusat.
Status keistimewaan Yogyakarta tidak dapat dilepaskan
dari sejarah awal kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia ketika Sultan
Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII memilih dan memutuskan untuk
menjadi bagian dari Republik Indonesia, serta kontribusinya untuk melindungi
simbol negara-bangsa pada masa awal kemerdekaan yang telah tercatat dalam
sejarah Indonesia. Kewenangan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
dalam urusan keistimewaan meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan,
tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan Pemerintah Daerah
DIY;kebudayaan; pertanahan; dan tata ruang.
Dalam rangka penyelenggaraan urusan Keistimewaan DIY,
Pemerintah Pusat menyediakan pendanaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara sesuai dengan kebutuhan DIY dan kemampuan keuangan negara.Untuk menyediakan dana Keistimewaan tersebut,
Pemerintah Daerah DIY wajib menyampaikan rencana kebutuhan yang dituangkan
dalam rencana program dan kegiatan tahunan dan 5 (lima) tahunan.
Pendanaan urusan keistimewaan dibahas dan ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat berdasarkan pengajuan Pemerintah Daerah DIY. Pembahasan pendanaan Keistimewaan DIY tersebut
dilakukan oleh Pemerintah Daerah DIY bersama dengan kementerian/lembaga
pemerintah non-kementerian yang menangani urusan pemerintahan bidang
perencanaan pembangunan nasional, keuangan, pemerintahan daerah, dan
kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian yang berkaitan dengan
Keistimewaan DIY.
Pengalokasian dan penyaluran dana keistimewaan yang
diperuntukkan dan dikelola oleh Pemerintah DIY adalah melalui mekanisme
transfer daerah dan pada setiap tahun anggaran Gubernur DIY melaporkan
pelaksanaan kegiatan keistimewaan DIY kepada Pemerintah Pusat melalui Menteri
Dalam Negeri. Meskipun bagian pendanaan diatur secara khusus
dalam UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta,
semua peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan daerah berlaku bagi
Pemerintahan Daerah DIY. Dalam konteks pengelolaan pendapatan daerah di
DIY, proporsi sumber pendapatan utama daerah yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan proporsi rata-rata dibawah 40% dari total pendapatan daerah, maka perlu
adanya strategi-strategi dalam rangka peningkatan PAD di waktu yang akan
datang. Disamping itu, sumber–sumber pendapatan lainnya juga perlu
ditingkatkan, antara lain bagian laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
lain-lain pendapatan yang sah, dana perimbangan bagi hasil pajak dan bagi hasil
bukan pajak, sehingga dalam kurun waktu lima tahun mendatang, proporsi DAU
secara bertahap dapat mulai digantikan oleh sumber–sumber pendapatan yang dapat
diupayakan oleh daerah.
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah
pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk
mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangkaNegara Kesatuan Republik
Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula
tanggung jawabyang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk
menyelenggarakan pemerintahan danmengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi
Papua untuk sebesar-besarnya bagikemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari
rakyat Indonesia sesuai dengan peraturanperundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk
memberdayakan potensisosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk
memberikan peran yangmemadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil
adat, agama, dan kaum perempuan.
Terdapat 3 (tiga) hal dalam muatan
kebijakan yang memang menjadikan otonomi di Papua bersifat khusus. Pertama, di Papua dibentuk institusi
representasi kultural; Kedua, kekhususan dalam pendapatan daerah untuk
Papua; dan Ketiga, penggunaan
peristilahan yang secara semantik berbeda, meskipun tidak mempunyai perbedaan
signifikan dalam makna, seperti
lambang daerah, penamaan lembaga legislatif daerah, dan kebijakan di
tingkat daerah diberi penamaan yang berbeda.
Sebagaimana diatur pada UU No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka
antara Daerah Otonomi Khusus Papua dan daerah lain di Indonesia tidak berbeda
dalam hal sumber penerimaan daerah, yaitu dalam bentuk pendapatan asli daerah,
dana perimbangan, pinjaman Daerah, lain-lain penerimaan yang sah. Kekhususan
Papua adalah pada besaran dana bagi hasil untuk sumberdaya alam di sektor
pertambangan minyak bumi sebesar 70% dan pertambangan gas alam sebesar 70%.
Persentase ini lebih besar dari persentase yang diatur untuk daerah lain, di
mana bagi hasil pertambangan minyak bumi untuk daerah adalah 15,5% dan untuk
gas alam 30,05%.
Hal yang membedakan Papua dengan daerah
lain adalah adanya “Penerimaan Khusus” dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus
yang besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang
terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan; dan dana tambahan
dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara
Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran,
yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Diatur di
dalam UU No. 21 Tahun 2001 bahwa penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) berlaku selama
25 tahun. Selanjutnya, mulai tahun ke-26, penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi 50% untuk pertambangan minyak bumi
dan sebesar 50% untuk pertambangan gas alam. Sementara itu, penerimaan dalam
rangka Otonomi Khusus berlaku selama 20 tahun,
Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah,
khususnya terkait dengan pelaksanaan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001, maka Pemerintah Provinsi Papua mempunyai kewenangan untuk mengatur,
menetapkan dan mengendalikan pengelolaan dana otonomi khusus. Berdasarkan UU
No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ditetapkan dana
otonomi khusus sebesar 2 persen dari total DAU secara nasional. Pembagian lebih
lanjut antara provinsi, kabupaten dan kota, diatur secara adil dan berimbangan
dalam PERDASUS, dengan memberikan prioritas pada daerah-daerah yang tertinggal.
Oleh karena Majelis Rakyat
Papua (MRP) yang menyusun PERDASUS sampai saat ini belum terbentuk, maka
pembagian dana otonomi khusus ditentukan dengan Peraturan Daerah dan Keputusan
Gubernur Provinsi Papua. Hal ini sejalan dengan Surat Keputusan Menteri RI
Nomor 47/KM.07/2002 tanggal 21 Februari 2002 tentang tata cara penyaluran dana
otonomi khusus Provinsi Papua. Peraturan Daerah tentang Pembagian Dana Otonomi
Khusus baru diatur pada Tahun 2004 berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2004.
Sedangkan selama tahun 2002 dan 2003 diatur berdasarkan Keputusan Gubernur
Provinsi Papua Nomor 900/2697/SET tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Otonomi
Khusus Tahun Anggaran 2002.
Provinsi Papua dapat mengajukan
tambahan dana setiap tahunnya berdasarkan usulan Provinsi Papua yang
selanjutnya akan dibahas antara Panitia Anggaran-DPR-RI dengan Pemerintah.
Untuk Provinsi NAD dan Provinsi Papua akan diprioritaskan untuk mendapatkan DAK
non DR, apabila dalam tahun anggaran yang bersangkutan dianggarkan dalam APBN.
Kekhususan Jakarta terletak pada fungsinya
sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus sebagai daerah
otonom pada tingkat provinsi. Meskipun semua peraturan perundang-undangan yang
mengatur keuangan daerah juga berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI)
Jakarta, ada pendanaan-pendanaan yang bersifat khusus
dalam kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang
bersifat khsus meliputi penetapan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang tata
ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; pengendalian penduduk dan
permukiman; transportasi; industri dan perdagangan; dan pariwisata. Dalam melaksanakan kewenangan dan urusan
pemerintahannya, melaksanakan urusan pemerintahan dalam rangka
penyelenggaraan dekonsentrasi, melaksanakan urusan pemerintahan dalam rangka
penyelenggaraan tugas pembantuan dan melaksanakan kewenangan Pemerintah yang
bersifat khusus, Gubernur melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan
pemerintah daerah lain. Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga
memiliki kewenangan untuk melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat
Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain yang ada di
daerah Provinsi DKI Jakarta.
Pendanaan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya
sebagaiIbukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dianggarkan dalam APBN yang ditetapkan bersama antara Pemerintah Pusat
dan DPR berdasarkan usulan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dana tersebut merupakan anggaran yang
diperuntukkan dan dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang
pengalokasiannya melalui kementerian/lembaga terkait. Pada setiap akhir tahun anggaran, Gubernur wajib
melaporkan seluruh pelaksanaan kegiatan dan pertanggungjawaban keuangan yang
terkait dengan kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia kepada Pemerintah Pusat melalui menteri/kepala lembaga
terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perimbangan
keuangan antara Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia dilaksanakan dalam kerangka pelaksanaan urusan pelaksanaan
pemerintahan. Dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan absolut, konkuren dan urusan pemerintahan umum yang menjadi
kewenangan daerah dalam pelaksanaan asas desentralisasi, dilakukan atas beban
APBD. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan
asas desentralisasi,kepada Daerah diberikan kewenangan untuk memungut
pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan(revenue
sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagaidana perimbangan
sebagai sumber dana bagi APBD. Sedangkan urusan pemerintahan yang di limpahkan
kepada daerah dalam pelaksanaan asas dekosentrasi dan tugas pembantuan didanai
dari dan atas beban APBN. Artinya Pemerintah mengalokasikan belanja dalam rangka
azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang bersifat langsung ke daerah tanpa
melalui APBD. Terbentuknya UU No. 23 Tahun 2014 telah memberikan perubahan
terhadap anggaran yang akan di tranfer kepada daerah sehingga mengakibatkan
penerapan UU No. 33 tahun 2004 tidak relevan lagi. Perubahan seperti Dana bagi
hasil mengalami penambahan diantarannya sumber dana dari cukai, sumber dana
dari pajak telah dihapus bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB). Dana perimbangan yang tidak
sesuai dengan azas dana perimbangan seperti program PNPM, Dana penyesuaian
infrastruktur, tambahan tunjangan penghasilan guru, dana insentif daerah dan
dana lainnya. Selanjutnya ada penambahan alokasi dana perimbanganDaerah
Provinsi yang Berciri Kepulauan, Pemerintah Pusat dalam menyusun perencanaan
pembangunan dan menetapkan kebijakan DAU dan DAK harus memperhatikan Daerah
Provinsi yang Berciri Kepulauan.
2.
Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang bersifat
khusus/istimewa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan
melalui dana transfer. Untuk Provinsi Papua, Papua Barat, dan Aceh dana
transfer sudah dipatok dan ada sharing
portion secara khusus dalam pertambangan minyak dan pertambangan gas alam,
sedangkan untuk Provinsi DIY dan DKI Jakarta, penerimaan yang bersifat
khusus/istimewa diajukan oleh Pemerintah Daerah dan pembahasan
pendanaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah DIY
bersama dengan kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian yang menangani
urusan pemerintahan bidang perencanaan pembangunan nasional, keuangan,
pemerintahan daerah, dan kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian yang
berkaitan dengan hal tersebut. Dana Otonomi Khusus bagi
Provinsi Aceh berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, untuk
tahun pertama mulai berlaku sejak tahun anggaran 2008dengan rincian
untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara
dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam
belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu
persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Untuk
Provinsi Papua dan Papua Barat, “Penerimaan Khusus” dalam rangka
pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana
Alokasi Umum Nasional yang berlaku selama 20 tahun.
B.
Saran
1. Melihat masih banyaknya kelemahan yang terjadi
dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah baik
melalui metode penyerahan dana alokasi umum, ketidakterlibatan DPD dalam
pembahasan UU No. 33 Tahun 2004, terbentuknya UU No. 23 Tahun 2014 maupun
praktik pelaksanaan perimbangan keuangan tersebut yang selama ini kurang tepat,
maka UU No. 33 Tahun 2004 sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan. Dengan
demikian, Pemerintah dan DPR seyogyanya dapat membuat Undang-undang yang baru
tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang disesuaikan dengan
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014, tentang pemerintahan daerah. Hal ini terkait
dengan adanya perubahan transfer pusat kedaerah dalam pelaksanaan urusan pemerintahan
yang diberikan kepeda pemerintah daerah.
2. Pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah nantinya harus dapat mencerminkan prinsip demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan konsekuensi negara kesatuan
yang didesentralisasikan yaitu dengan menjamin adanya keterlibatan segenap
komponen masyarkat daerah dalam menentukan besarnya distribusi dana
perimbangan.
3. Formula DAU seyogyanya lebih sederhana dan
mudah dipahami serta transparan. Artinya daerah atau publik mampu
mensimulasikan formula ini untuk memperoleh kepastian DAU dan melakukan
mekanisme komplain apabila DAU yang diterima tidak sesuai.
Pasal 1 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Bagian Menimbang UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Lihat
Pasal 159 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Sumber: Ditjen Perimbangan
Keuangan, Kemenkeu
Pasal 225 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Muhammad Fauzan, 2006, Hukum
Pemerintahan Daerah: Kajian tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah,
Yogyakarta: UII Press, h. 293.