Latar
Belakang Permasalahan: Kekuasaan sebagai Asosiasi terhadap Kekuatan Politik
Sejak awal hingga perkembangan terakhir ada
sekurang-kurangnya lima pandangan mengenai politik; salah satunya adalah
politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
Maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah; apa yang dimaksud dengan
kekuasaan?
Secara umum, kekuasaan disepakati sebagai kemampuan
mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan bertindak sesuai kehendak yang
mempengaruhi, dan dilihat sebagai interaksi antara pihak yang mempengaruhi dan
dipengaruhi. Kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat
dalam proses politik, namun tidak ada kesepakatan mengenai makna kekuasaan
diantara para ilmuwan politik. Beberapa menganjurkan untuk meninggalkan konsep
kekuasaan karena bersifat kabur dan berkonotasi emosional, namun politik tanpa
kekuasaan bagaikan agama tanpa moral.
Dalam perbendaharaan ilmu politik terdapat sejumlah konsep
yang berkaitan dengan kekuasaan (power); seperti pengaruh (influence), persuasi
(persuasion), manipulasi (manipulation), peragaan ancaman kekuasaan (coercion),
penggunaan tekanan fisik (force), dan kewenangan (authority).
Dalam asosiasinya terhadap kekuatan politik, dapatlah
ditarik benang merah bahwa tidak mungkin ada kekuatan dalam hal apapun, bukan
hanya politik tanpa adanya kekuasaan. Maka dalam pembahasan mengenai kekuatan
politik, pertama-tama kita perlu sedikit menguraikan konsep kekuasaan.
Begitu banyak pembahasan mengenai kekuasaan politik, namun
tiga masalah utama yang selalu diamati oleh ilmuwan politik berkenaan hal ini
adalah bagaimana kekuasaan dilaksanakan, bagaimana kekuasaan didistribusikan,
dan mengapa suatu pihak tertentu memiliki kekuasaan lebih besar dari yang lain
dalam situasi dan kondisi tertentu.
Indonesia, dalam 61 tahun pasca kemerdekaan, telah mengenal
kekuatan politik dalam berbagai bentuk, baik formal maupun anomie, yang telah
menempati berbagai posisi kekuasaan seiring waktu yang berjalan, dari mulai
Revolusi Kemerdekaan sampai periode Reformasi, yang kesemuanya layak dibahas
demi mencapai sebuah tujuan bernama pemahaman, karena pemahaman adalah titik
awal untuk dapat mengevaluasi suatu objek pengetahuan.
Kekuatan
Politik Indonesia: Masa Revolusi Kemerdekaan
Para penyelenggara negara pada awal periode kemerdekaan
memiliki komitmen yang sangat besar terhadap mewujudkan demokrasi politik di
Indonesia. Terdapat beberapa hal fundamental yang menjadi peletakan dasar
demokrasi di Indonesia, sekaligus dapat dikatakan sebagai kekuatan-kekuatan
politik di awal terbentuknya NKRI.
Pertama adalah political franchise yang menyeluruh, sejak
kemerdekaan telah dinyatakan dari pemerintah kolonial Belanda, semua warga
negara yang telah dianggap dewasa memiliki hal-hak politik yang sama tanpa
diskriminasi berdasarkan ras, agama, suku, dan kedaerahan. Meskipun tidak
berwujud konkrit, hal ini merupakan suatu kekuatan politik di awal kemerdekaan
Indonesia yang bertujuan mendukung kehidupan berpolitik yang kondusif.
Kedua adalah Lembaga Kepresidenan, yang pada awal
terbentuknya dapat dikatakan bersifat mutlak dan berpeluang menjadi suatu
kediktatoran, sebelum Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kemudian dibentuk
untuk menggantikan parlemen, dan meninggalkan Presiden sebagai personifikasi
kekuasaan.
Ketiga, adalah Maklumat Wakil Presiden nomor X (baca: eks)
yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945 atas usul KNIP yang menyatakan bahwa KNIP
diserahi kekuasaan legislatif sebelum terbentuknya MPR dan DPR, yang kemudian
berkelanjutan hingga membentuk sistem pemerintahan parlementer. Seperti halnya
poin pertama, Maklumat yang tidak bersifat konkrit sebagaimana halnya Lembaga
Kepresidenan, tetap menjadi kekuatan politik yang berpengaruh, dalam hal ini
adalah mengendalikan kekuatan politik lainnya (baca: Presiden) dari kemungkinan
kediktatoran.
Sejarah Orde Lama: Demokrasi
Terpimpin
Sejarah orde lama atau sejarah
Demokrasi terpimpin adalah dimana yang memimpin bangsa ini adalah Bung Karno
atau Ir. Soekarno. Selama masa orde lama ini, ada sistem yang pernah diterapkan
di Indonesia, yakni:
Masa demokrasi liberal
Demokrasi yang dipakai adalah
demokrasi parlementer atau demokrasi liberal. Demokrasi pada masa itu telah
dinilai gagal dalam menjamin stabilitas politik. Ketegangan politik demokrasi
liberal atau parlementer disebabkan hal-hal sebagai berikut:
Dominannya politik aliran
maksudnya partai politik yang sangat mementingkan kelompok atau alirannya
sendiri dari pada mengutamakan kepentingan bangsa Landasan sosial ekonomi
rakyat yang masih rendah. Tidak mampunya para anggota konstituante bersidang
dalam mennetukan dasar negara.
Presiden sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959 yang berisi 3 keputusan yaitu:
Menetapkan pembubaran
konstituante menetapkan UUD 1945 berlaku kembali sebagai konstitusi negara dan
tidak berlakunya UUDS 1950 pembentukan MPRS dan DPRS dengan turunnya dekrit
presiden berakhirlan masa demokrasi parlementer atau demokrasi liberal.
Masa demokrasi terpimpin
Menurut Ketepan MPRS no.
XVIII/MPRS /1965 demokrasi trepimpin adalah kerakyatan yang dipimpn oleh hikmat
kebijaksamaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi terpimpin merupakan
kebalikan dari demokrasi liberal dalam kenyataanya demokrasi yang dijalankan
Presiden Soekarno menyimpang dari prinsip-prinsip negara demokrasi.
Penyimpanyan tersebut antara lain:- Kaburnya sistem kepartaian dan lemahnya peranan partai politik
- Peranan parlemen yang lemah
- Jaminan hak-hak dasar warga negara masih lemah
- Terjadinya sentralisasi kekuasaan pada hubungan antara pusat dan daerah
- Terbatasnya kebebasan pers sehingga banyak media masa yang tidak dijinkan terbit.
Akhirnya dari demokrasi
terpimpin memuncak dengan adanya pemberontakan G 30 S / PKI pada tanggal 30
September 1965. Demokrasi terpimpin berakhir karena kegagalan presiden Soekarno
dalam mempertahankan keseimbangan antara kekuatan yang ada yaitu PKI dan
militer yang sama-sama berpengaruh. PKI ingin membentuk angkatan kelima
sedangkan militer tidak menyetujuinya. Akhir dari demokrasi terpimpin ditandai
dengan dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno
kepada Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan.
Pada era orde lama
(1955-1961), situasi negara Indonesia diwarnai oleh berbagai macam kemelut
ditngkat elit pemerintahan sendiri. Situasi kacau (chaos) dan persaingan
diantara elit politik dan militer akhirnya memuncak pada peristiwa pembenuhan 6
jenderal pada 1 Oktober 1965 yang kemudian diikuti dengan dengan krisi politik
dan kekacauan sosial. Pada massa ini persoalan hak asasi manusia tidak
memperoleh perhatian berarti, bahkan cenderung semakin jauh dari harapan.
Unsur-unsur Penegakan Dremokrasi- Negara hukum
- Masyarakat madani
- Infrastruktur politik (parpol, kelompok gerakan, kelompok kepentingan, kelompok penekan)
- Pers yang bebas dan bertanggung jawab
Kekuatan
Politik Indonesia: Masa Pemerintahan Parlementer dan Demokrasi Terpimpin
Pada masa pemerintahan parlementer (1950-1959) yang
berlangsung dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), dapat dikatakan
sebagai simbolisasi kejayaan demokrasi di Indonesia. Maka dari itu, kita tidak
bisa tidak menyebutkan parlemen sebagai salahsatu kekuatan politik di
Indonesia, yang pada masa itu tengah jaya-jayanya. Kejayaan parlemen pada masa
pemerintahan parlemen didukung oleh sejumlah kekuatan politik; seperti
kekuasaan parlemen terhadap kabinet lewat sejumlah mosi tidak percaya yang
mengakhiri kabinet, akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi yang sangat
tinggi karena lembaga perwakilan rakyat (parlemen) berfungsi dengan baik,
adanya pers sebagai instrumen politik sekaligus alat kontrol sosial, dan
masyarakat umum yang dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi
sama sekali dengan adanya berbagai kebebasan termasuk kebebasan berpendapat
tanpa rasa khawatir akan resiko keselamatan diri. Namun dominasi politik aliran
yang membawa konsekuensi pengelolaan konflik, basis sosial-ekonomi yang masih
sangat lemah, dan adanya persamaan kepentingan antara Presiden Soekarno dan kalangan
Angkatan Darat yang sama-sama tidak senang dengan proses politik yang tengah
berjalan saat itu, mengakibatkan berakhirnya masa pemerintahan parlementer, dan
digantikan oleh Demokrasi Terpimpin.
Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer
- Kekuasaan legislatif lebih kuat dari pada kekuatan ekspekutif
- Meteri-menteri (kabinet) harus mempertanggungjawabkan tindakan kepada DPR
- Program kebijaksanaan kabinet harus disesuaikan dengan tujuan politik sebagian anggota parlemen.
Demokrasi Terpimpin dimulai pada 5 Juli 1959 setelah
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya adalah pembubaran
Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945, dan memberi kesempatan pada
Kepala Negara untuk mewujudkan gagasan politiknya dan memainkan peranan publik
yang selama masa pemerintahan parlementer tidak dapat dilakukannya berkaitan
dengan posisinya yang hanya menjadi simbolisasi kekuasaan. Di samping itu,
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sebelumnya hanya berperan sebagai kekuatan
politik oposisi, kemudian masuk dalam kekuasaan eksekutif dan menjadi salah
satu aliansi yang sangat diperlukan oleh Soekarno. Di lain pihak, Angkatan
Darat juga muncul sebagai kekuatan politik yang sangat kuat karena didukung
oleh keadaan, karena sejak awal AD telah mengamati bahwa PKI merupakan ancaman
yang membahayakan NKRI. Politik pada masa Demokrasi Terpimpin diwarnai oleh
tarik-ulur yang sangat kuat antara tiga kekuatan politik yang utama pada saat
itu; yaitu Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat.
A. Masa pemerintahan orde lama
Orde Lama adalah sebutan bagi masa
pemerintahan PresidenSoekarno di Indonesia.Orde Lama
berlangsung dari tahun 1945 hingga1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesiamenggunakan
bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.Di saat menggunakan
sistem ekonomi liberal,
Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.
Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi
komando.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta
sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa
hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini
mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan
menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak
termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei),
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa
Tenggara.
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia
menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik.
Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober
1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum
1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29
parpol dan juga terdapat peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan
dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur
tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada
tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari
pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO,
Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada
tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari
29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik
ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi.
Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada
tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
Secara umum, hubungan Mohammad Hatta
sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai Presiden, sangat dinamis, bahkan
kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus
sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno dengan Mohammad
Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat itu.
Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalamPolitik Hukum di Indonesia,
secara lebih spesifik menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia
ketika itu sebagai berikut:
Pertama,
setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam
penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi
cenderung demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal.
Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno
menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah
berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS
1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu
konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya
partai-partai politik;
Kedua,
konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi
ke arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika
Presiden Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi
Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang
sangat ditentukan oleh partai-partai politik melalui free fight (Yahya Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik,
Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980.
Jakarta : LP3ES).
Sejak zaman pergerakan nasional,
hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta yang seringkali disebut Dwitunggal,
terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an, keduanya telah beberapa kali
ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap
berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Pada masa pendudukan Jepang, kedua tokoh
ini mendapatkan pengakuan sebagai wakil-wakil rakyat Indonesia. Pada saat
penyusunan naskah Proklamasi, keduanya terlibat dalam proses penyusunan naskah
teks proklamasi kemerdekaan. Pada detik-detik menjelang pembacaan naskah
proklamasi, Soekarno menolak desakan para pemuda untuk membacakan teks
proklamasi lebih awal karena Mohammad Hatta belum datang. Ketika itu, Bung
Karno berkata: Saya tidak akan membacakan Proklamasi
kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu Bung
Hatta, silahkan baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi
salah satu tokoh pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks
Proklamasi. Begitu percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta, pada tahun
1949, ia meminta agar Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus
juga menjadi Perdana Menteri.
Mohammad Hatta selalu menekankan
perlunya dasar hukum dan pemerintahan yang bertanggung jawab, karena itu Hatta
tidak setuju ketika Presiden Soekarno mengangkat dirinya sendiri sebagai
formatur kabinet yang tidak perlu bertanggung jawab, tidak dapat diganggu
gugat, serta menggalang kekuatan-kekuatan revolusioner guna membersihkan
lawan-lawan politik yang tidak setuju dengan gagasannya. Konflik ini mencapai
puncaknya. Setelah pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno mengajukan konsep
Demokrasi Terpimpin pada tanggal 21 Februari 1957 di hadapan para pemimpin
partai dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka. Presiden Soekarno mengemukakan
Konsepsi Presiden, yang pada pokoknya berisi:
1.
Sistem Demokrasi Parlementer secara
Barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti
dengan Demokrasi Terpimpin.
2.
Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang angotanya terdiri dari semua
partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam
masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan
Kabinet Kaki Empat yang mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI,
Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), turut serta
di dalamnya untuk menciptakan kegotongroyongan nasional.
3.
Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri
dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini, tugas
utamanya adalah memberi nasihat kepada Kabinet, baik diminta maupun tidak
diminta.
Dengan konsep yang diajukan Soekarno
itu, Hatta menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin
memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak dapat menerima perilaku
Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi yang mensyaratkan
persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan dihormatinya supremasi
hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu, dengan alasan rakyat perlu
dipimpin dalam memahami demokrasi yang benar. Jelas, bagi Bung Hatta, ini
adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan
demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan,
teguran, dan peringatan terhadap Soekarno, sahabat seperjuangannya, telah
dilakukan. Tetapi Soekarno tidak berubah sikap. Sebaliknya, Hatta pun tidak
menyesuaikan dirinya dengan pandangan sikap dan pendapat Soekarno.
Mohammad Hatta telah mengundurkan diri
sebagai Wakil Presiden, sebelum Soekarno menyampaikan konsep Demokrasi
Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1 Desember 1956, Mohammad Hatta
mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden kepada DPR hasil
Pemilihan Umum 1955. Pada tanggal 5 Februari 1957 berdasarkan Keputusan
Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden Soekarno memberhentikan Mohammad Hatta
sebagai Wakil Presiden. Namun, pengunduran diri Mohammad Hatta dari posisi
Wakil Presiden tidak mengakibatkan hubungan pribadi keduanya menjadi putus.
Bung Karno dan Bung Hatta tetap menjaga persahabatan yang telah mereka jalin
sejak lama.
Pengunduran diri ini lebih disebabkan
oleh karena perbedaan pendapat dengan Presiden. Pengunduran diri Mohammad Hatta
sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti dengan gejolak politik. Juga tidak ada
tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan pendapat antara Mohammad Hatta
dengan Soekarno, lebih kepada visi dan pendekatan Mohammad Hatta yang
berbeda dengan Soekarno dalam mengelola Negara. Perbedaan itu, sesungguhnya
telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan itu makin memuncak pada pertengahan
tahun 1950-an. Soekarno menganggap revolusi belum selesai, sementara Hatta
menganggap sudah selesai sehingga pembangunan ekonomi harus diprioritaskan
(Adnan Buyung Nasution, Refleksi Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM,
Jakarta: CIDES, 20 Juni 2002).
Meskipun telah mengundurkan diri, banyak
orang yang menghendaki agar Bung Hatta aktif kembali. Di dalam Musyawarah
Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas â€Å“Masalah Dwitunggal
Soekarno-Hatta Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR mengajukan mosi
mengenai â€Å“Pemulihan Kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. DPR kemudian
menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mencari â€Å“bentuk
kerjasama Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29 November 1957
dan dikenal sebagai Panitia Sembilan?, yang diketuai oleh Ahem Erningpraja.
Namun, Panitia Sembilan ini dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa menghasilkan
sesuatu yang nyata (Sekretariat Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia Merdeka,
1950-1964).
Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah
Wakil Presiden yang mampu menjadi satu kesatuan dengan Presiden Soekarno,
sehingga seringkali disebut Dwitunggal. Pelaksanaan konsep Dwitunggal
Soekarno-Hatta telah menempatkan kedudukan dan fungsi Wakil Presiden menjadi
sama dengan Presiden, padahal menurut UUD 1945 kedudukan Wakil Presiden adalah
sebagai Pembantu Presiden? serta dapat menggantikan Presiden jika Presiden
berhalangan. Fenomena ini menjadi semakin jelas apabila diperhatikan praktik
ketatanegaraan yang berlangsung antara tahun 1945 sampai tahun 1956.
Pada masa ini, Wakil Presiden banyak melakukan tindakan mengumumkan/
mengeluarkan peraturan perundang-undangan antara lain, Maklumat Wakil Presiden
No.X tanggal 16 Oktober 1945; Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945
tentang Permakluman Perang; Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang
pendirian partai politik; dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1946 tentang Keadaan
Bahaya.
Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan
UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang Penunjukkan Pemangku Sementara Jabatan Presiden
Republik Indonesia, Indonesia menganut sistem parlementer. Jika keadaan ini
dihubungkan dengan persoalan Presiden berhalangan serta pengisian jabatannya
untuk sementara oleh Wakil Presiden, maka tindakan yang dilakukan oleh Wakil
Presiden di bidang ketatanegaraan dapat ditafsirkan sebagai suatu pengisian
jabatan Presiden untuk sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut konsep
Dwitunggal, maka tindakan Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.
Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia
mengadopsi undang-undang baruyang
terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan
bertanggungjawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai
politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang
stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal
yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang
berdasarkan Pancasila sementara
beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang
yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan
pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk
mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya
pada 1959 ketika
Presiden Soekarnosecara
unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang
memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno
berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label “Demokrasi
Terpimpin“. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri
Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting
negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun
Blok Uni Soviet. Para pemimpin
tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Baratpada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk
mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan
awal 1960-an, Soekarno bergerak
lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai
Komunis Indonesia (PKI)
di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah
menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara
lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan
menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah “rencana neo-kolonial” untuk
mempermudah rencana komersial Inggris di
wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia,
hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara
Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia
untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk
mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan
pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan
mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB danGANEFO sebagai
tandingan Olimpiade. Pada tahun itu
juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan
Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).
Nasib Irian Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah
Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan
barat pulau Nugini (Papua),
dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian
kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Negosiasi dengan Belanda mengenai
penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun
payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum
kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan
1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan
perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian
New York pada
Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari
organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk
rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk
membentuk “Angkatan
Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi
militer menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang
lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas
kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini
untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang
dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada1966 mencapai
setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawadan Bali.
PEMERINTAHAN ORDE LAMA
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, sudah banyak
tokok-tokoh negara yang saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian
yang tepat bagi bangsa Indonesia, baik secara individu maupun diskusi kelompok.
Tetapi pada pemerintah orde lama masih belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi
negara Republik Indonesia yang memburuk.
Orde
lama (Demokrasi Terpimpin)
Keadaan
ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh :
a.
Inflasi yang sangat tinggi,
disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali.
Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang
yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang
pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
b.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda
sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
c.
Kas negara kosong.
d.
Eksploitasi besar-besaran di masa
penjajahan.
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
1.
Program Pinjaman Nasional
dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan
BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
2.
Upaya menembus blokade dengan diplomasi
beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan
menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
3.
Konferensi Ekonomi Februari 1946
dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi
masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi
makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
4.
Pembentukan Planning Board (Badan
Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948.
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948.
5.
Kasimo Plan yang intinya mengenai
usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis.
Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti
Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa
Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun
sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan
pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire
laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing
dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini
hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
1)
Gunting Syarifuddin, yaitu
pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah
uang yang beredar agar tingkat harga turun.
2)
Program Benteng (Kabinet Natsir).
3)
Nasionalisasi De Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan
fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
4)
Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali
Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo.
5)
Pembatalan sepihak atas hasil-hasil
Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka
Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia
menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan
sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam
sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan
ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan
ekonomi Indonesia.
Kekuatan
Politik di Indonesia: Masa Orde Baru
Dalam model Modern Personal Rule yang diajukan William
Liddle (1985) mengenai Indonesia Orde Baru, tampak bahwa kekuatan politik di
Indonesia pada masa Orde Baru terbagi atas tiga jajaran utama: Presiden dengan
segala atributnya, Angkatan Bersenjata, dan Birokrasi.
Dalam analogi piramida kekuatan politik, Lembaga
Kepresidenan atau Presidency di Indonesia menempati puncak kekuasaan secara
keseluruhan, menjadi primus inter pares yang utama diantara yang setara diantara
lembaga tinggi negara yang lain seperti DPR, DPA, MA, dan BPK, sebagai
konsekuensi kemampuan Presiden dalam mengontrol dan menggunakan political
resources. Presiden mengontrol rekruitmen politik dalam negara, termasuk untuk
jabatan lembaga tinggi negara, anggota badan legislatif serta judikatif, dan di
kalangan Angkatan Bersenjata berkaitan dengan posisinya sebagai Panglima
Tertinggi ABRI. Selain itu, Presiden juga memiliki sejumlah financial resources
yang didalamnya mengatur proses perumusan budgeting dan pendistribusian dana
pembangunan nasional. Oleh karenanya, tidak heran jika proses politik, berjalan
dengan sedikit banyak ditentukan oleh persepsi dan orientasi Lembaga
Kepresidenan.
Dalam perjalanan politik Orde Baru, lembaga kepresidenan
menjadi pusat seluruh proses politik yang berjalan di Indonesia, sebagai
pembentuk dan penentu agenda sosial, ekonomi, dan politik nasional, dengan
kekuasaan yang sedemikian besar dala rekrutmen opilitik dan sumber daya
keuangan yang tidak terbatas, dan sejumlah hak khusus yang dimiliki Presiden
seperti Mandataris MPR, Pemegang Supersemar, Bapak Pembangunan, dan Panglima
Tertinggi ABRI.
Pada
jajaran kedua adalah Angkatan Bersenjata terutama Angkatan Darat yang berperan
penting terutama sebagai stabilisator dan dinamisator politik. Namun,
prevalensi ABRI dapat juga ditemukan dalam berbagai bidang lain, seperti
ekonomi, sosial-kemasyarakatan, termasuk olahraga dan kesenian. Dalam bidang
politik, ABRI memainkan politik baik secara langsung maupun tdak, melalui
organisasi sosial politik misalnya Golongan Karya. Peranan politik ABRI Orde
Baru adalah sebagai pembentuk suasana yang baik, agar semua kebijaksanaan pemerintah
dapat diwujudkan atau diimplementasikan dengan baik.
Sebagai kekuatan politik yang berfungsi untuk merealisir
Demokrasi Pancasila, ABRI perlu memenuhi persyaratan pokok yaitu penerimaan dan
kepercayaan masyarakat. Sementara itu, masalah utama yang berkenaan dengan
penerimaan (legitimasi) masyarakat adalah bagaimana prosedur pengakuan itu
berlangsung dalam proses kehidupan politik.
Yang terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah birokrasi.
Diungkapkan oleh William Liddle (1988), bahwa birokrasi Indonesia memiliki
karakteristik khusus yaitu citra diri (self image) yang benevolence, sehingga
birokrasi terdoktrinasi oleh persepsi diri sebagai pelindung, pengayom,
pemurah, baik hati terhadap rakyatnya. Sementara itu, rakyat dianggap tidak
tahu apa-apa alias bodoh, dan oleh karena itu, birokrasi berperan untuk
“mendidik” masyarakat. Karena birokrasi adalah benevolence, maka sudah
seharusnya bagi rakyat untuk patuh, taat, dan setia terhadap pemerintahnya.
Pola hubungan benevolence-obedience ini menjadi dominan dalam mewarnai
interaksi antara pemerintah dan masyarakat di Indonesia.
Sementara itu, perjalanan politik Indonesia juga menunjukkan
kecenderungan kuat bahwa birokrasi sebagai instrumen politik suatu rezim tampak
jelas sejak masa kolonial. Sedangkan pada masa pasca-kemerdekaan, birokrasi
mengalami proses politisasi sekaligus fragmentasi. Sekalipun jumlahnya tidak
terlalu besar, aparat pemerintah bukanlah suatu organisasi uang menyatu karena
telah terbagi-bagi dalam partai politik yang bersaing dengan sangat intesnif
guna memperoleh dukungan. Hal itu tentu saja sangatlah tidak sehat karena
peranan ideologi masing-masing partai meningkatkan proses fragmentasi yang
sangat tinggi. Arah gerak birokrasi pun masih mengalami polarisasi yang sangat
tajam dengan mengikuti arus polarisasi politik masyarakat, sementara
partai-partai politik memiliki peranan politik yang sangat terbatas yang
mengakibatkan politisasi birokrasi tidak mengalami intensitas yang tinggi
dibanding masa sebelumnya.
Akan tetapi, secara keseluruhan kekuatan-kekuatan politik di
masa Orde Baru dapat pula dikategorikan kedalam tiga golongan seperti yang
dijelaskan dibawah ini:
Golongan radikal, yang menghendaki
supaya kesempatan tidak diberikan kepada mereka yang berkolaborasi dengan Orde Lama.
Pemuka-pemuka kelompok ini terutama dari kalangan yang condong ke Barat dalam
mengambil contoh untuk mengatur kehidupan politik dan ekonomi Indonesia,
misalnya para pemuka partai yang dilarang oleh rezim Orde Lama seperti Masyumi
dan PSI terhadap pembersihan Orde Baru dari pengaruh Orde Lama, yang intinya
adalah penjauhan Orde Baru dari segala usaha yang telah dicoba oleh Soekarno.
Sementara
golongan konservatif, yang lebih diwarnai oleh politik sipil, juga menghendaki
pembersihan sisa-sisa rezim Orde Lama, namun menghendaki peranan besar dalam
politik Indonesia. Maka golongan moderat muncul dengan jalan tengah; melalui
tradisi cara penyelesaian khas Indonesia, maka setahap demi setahap Soeharto
memperkecil peranan politik Soekarno sampai munculnya Tap MPRS bulan Maret 1967
yang mengakhiri peranan Soekarno dalam kehidupan politik Indonesia.
Kekuatan
Politik di Indonesia: Pasca Orde Baru
Pasca Orde Baru, politik di Indonesia mendapati adanya tiga
kekuatan raksasa yang, dengan posisi dan porsinya masing-masing, berperan
penting dalam kehidupan politik di Indonesia. Yang pertama adalah Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sejak lama ABRI merupakan kekuatan
politik yang paling kuat karena dwifungsinya berhasil meneruskan karisma TNI
sebagai pejuang kemerdekaan RI dan telah disinambungkan oleh Bung Karno dan
Presiden Soeharto dan terpaksa dilanjutkan oleh Presiden Habibie. ABRI ini
mempunyai kekuatan yang paling dahsyat karena historinya, karena sudah
merupakan establishment yang tidak bisa digoyang-goyang, dan karena organisasi
dan disiplinnya yang canggih. Tidak ada kekuatan politik lain yang mempunyai
kinerja ala ABRI yang modern. Di atas kesemuanya itu di Indonesia ini hanya
ABRI mempunyai sistem kerjasama internasional baik dengan Israel secara tertutup
dan dengan DIA (Defense Intelligence Agency) Pentagon secara terbuka, untuk
tidak menyinggung CIA yang terlalu sensitif.
Kekuatan kedua adalah Muslim. Dalam hal ini kita memerlukan
sedikit pendalaman mengingat pluralisme Islam di Indonesia. Namun secara umum,
masyarakat muslim Indonesia mengenal Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU
adalah gerakan ulama-ulama Islam di Indonesia yang dipelopori KH. Wahid Hasyim
Asyari. Melalui lembaga pendidikan pondok pesantren, NU berhasil menanamkan
semangat dan watak anti kolonialisme dengan berpegang pada ajaran Islam,
memelihara semangat ahlussunah wal jamaah, dan menggalang persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia khususnya umat Islam. Dalam perjalanan sejarah,
tampak jelas keikutsertaan NU dalam kancah politik formal. Sejak didirikan pada
1926, NU tampil sebagai organisasi sosial keagamaan, bahkan pada pemilu pertama
tahun 1955, NU termasuk empat besar parpol pemenang pemilu. Karena kekuatan
kharismatis kyai dalam organisasi ini sangatlah besar sehingga menjadi ketaatan
yang sulit ditolak istilahnya “kami dengar dan kami taat” komando dikuasai oleh
pimpinan organisasi. Pasca Orde Baru, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi
pengejawantahan partisipasi NU dalam kancah politik Indonesia.
Sementara itu, Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan
pada 1912 telah menjadi organisasi keagamaan yang memberi saham secara nasional
terutama karena ikut mendewasakan kemerdekaan dan membangun bangsa Indonesia.
Peranannya dalam gerakan nasional sangat strategis mengingat pendidikan yang
diembannya memangun masyarakat dalam kultur, peradaban, dan akidah, kendati
ketiganya merupakan hal monumental untuk dimodernisasikan. Muhammadiyah turut
pula berperan dibalik eksistensi Partai Amanat Nasional (PAN) yang dimotori
Amien Rais.
Sebagai “gerakan lama”, NU dan Muhammadiyah telah memiliki
tempat tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Namun demikian, reformasi di
segala bidang turut mendorong tumbuhnya ormas-ormas Islam baru. Salah satu
diantaranya adalah paham Ikhwanul Muslimin (IM), yang dimulai oleh Imam Al
Banna di Ismailiyah di awal abad ke-19. Bagi IM, partai politik apapun dapat
berdiri dengan nuansa kedaerahan masing-masing namun harus tetap berpedoman
pada Al Quran dan Al Hadis. Di Indonesia, idealisme ini kemudian diadopsi dan
diimplementasikan oleh Partai Keadilan Sejahtera.
Selain itu, muncul pula fenomena lain yang merupakan format
baru dari gerakan politik Islam, yaitu munculnya kelompok Islam “garis keras” suatu
istilah buatan Barat yang sebenarnya kurang tepat, tapi terpaksa digunakan
disini untuk kepentingan identifikasi. Kelompok ini berada diluar partai
politik (non partisan). Tapi mereka memiliki kesadaran dan kepedulian
sosial-politik yang sangat tinggi. Mereka secara aktif menjadi “pressure group”
untuk kepentingan politik Islam, terutama menyangkut penegakan syariat Islam.
Yang paling populer dari kelompok ini adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), MMI
(Majelis Mujahidin Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam). Posisi mereka
dianggap signifikan karena selain memiliki kader-kader yang cukup terdidik dan
militan, juga karena terdapat kecenderungan rekruitmen anggota kelompok ini
terus berjalan.
Kekuatan ketiga adalah kekuatan baru yang laten
(tersembunyi): Proletar. Mungkin istilah ini merupakan kejutan dahsyat bagi
para anti-komunis dan golongan allergis-Marxist. Proletar Indonesia harus
diakui merupakan mayoritas, namun mereka tidak mempunyai organisasi, tidak
mempunyai pemimpin, tidak mempunyai ideologi, tidak mempunyai apapun kecuali
baju yang melekat di tubuhnya. Kita sudah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri betapa peristiwa Mei yang hanya terjadi di satu kota, Jakarta, begitu
menakutkan sehingga penduduk asing dan keturunan Cina berlarian ke luar negeri.
Padahal ini baru sebagian kecil yang sporadis. Kita tidak bisa membayangkan
kalau terjadi serempak jangankan di seluruh Indonesia, di Jawa saja akan cukup
menggegerkan dunia a la letusan Gunung Krakatau. Memang lebih tepat Proletar
Indonesia ini disebut Gunung Krakatau yang aktif tapi tidur, yang kalau sudah
bangun mempunyai kekuatan dahsyat yang destruktif.
Satu-satunya jalan untuk menenangkan Proletar adalah
mencukupi sandang pangannya justru dalam masa kritik seperti sekarang ini.
Inilah tugas mission impossible dari kekuatan politik formal yang lain, yang
harus bahu membahu mencegah dan mengamankan potensi destruktifnya Proletar,
tapi juga tidak menambah kekecewaan, menambah lapar mereka. Tampaklah bahwa di
antara ketiga kekuatan itu ABRI yang paling unggul hingga diduga akan mampu
memelihara keamanan dan ketertiban nasional. Namun menurut sejarah dan
pengalaman kita, politik itu paling unpredictable. Dalam sekejap bisa terjadi
yang selama ini dianggap inconceivable (mustahil). Kalau Muslim fundamentalis
masih predictable karena para pemimpinnya masih bisa "dipegang", maka
Proletar yang tidak berideologi dan tidak punya pemimpin akan menjadi massa
yang tidak bisa di-tackle kalau sudah terlanjur bergerak bangun dari tidurnya.
Kekuatan
Politik di Indonesia: Kekuatan Politik Anomie
Membicarakan kekuatan politik anomie tidak bisa lepas dari
mahasiswa dan angkatan muda, namun diantara keduanya terdapat perbedaan yang
cukup signifikan. Angkatan muda disebut demikian karena kategori usia mereka
tanpa memandang tingkat pendidikan, sementara mahasiswa merupakan bagian
angkatan muda yang menempuh pendidikan tinggi. Mahasiswa sebagai komponen
universitas mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam pemikiran, pembicaraan,
dan penelitia tentang berbagai masalah, yang mana kesempatan tersebut tidak
dimiliki oleh angkatan muda pada umumnya, sehingga mahasiswa termasuk yang
terkemuka dalam memberi perhatian pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat
secara nasional. Bagaimanapun mahasiswa dijegal oleh beragam aturan dalam
kampus, mereka tetap merupakan kekuatan politik yang besar, sehingga para elit
kekuasaan memenfaatkan mahasiswa untuk menjatuhkan penguasa.
Beberapa karakteristik mahasiswa yang menjadi faktor
pendorong bagi meningkatnya peran mereka dalam kehidupan politik angkatan muda
misalnya:
Pertama, sebagai kelompok masyarakat dengan
pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horizon yang luas diantara keseluruhan
untuk lebih mampu bergerak diantara pelapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok
masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas
mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara
angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan
mahasiswa, sehingga universitas kentara bermakna sebagai pembentukan akulturasi
sosial dan budaya pada angkatan muda. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok
yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian
dan prestise dalam masyarakat, dengan sendirinya merupakan elit dalam kalangan
angkatan muda. Dan kelima, meningkatnya kepemimpinan mahasiswa di kalangan
angkatan muda tidak terlepas dari perubahan kecenderungan orientasi
universitas.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam proses politik di
Indonesia saat ini adalah bahwa selain sebagai saluran mengetengahkan situasi
dan keinginan masyarakat, aktivitas politik mahasiswa yang terjun ke arena
politik ketika terjadi situasi anomie yang kuat di masyarakat dilihat pula
sebagai salahsatu ukuran kepuasan masyarakat.
Dua
kekuatan politik lain yang tak kalah besar adalah pers dan pengusaha.
Pers, sebagai pembentuk opini publik lewat media-media yang
mereka gawangi, juga dapat dikategorikan sebagai salah satu kekuatan politik di
Indonesia. Pers dianggap sebagai kekuatan yang dianggap berpengaruh, saking
kuatnya pengaruh pers sehingga di masa Orde Baru dikenal Departemen Penerangan
yang menjegal kekuatan politik pers dan kebebasan mereka.
Sementara pengusaha, sebagai pelaku pasar yang dapat
memanfaatkan isu dan sebagai sumber utama pemungutan pajak, menjadi dekat
dengan pemerintah. Dalam hal ini terjadi siklus dimana pengusaha menjadi
financial supporter bagi bakal calon Gubernur, Walikota, atau Bupati, dengan
cara mempengaruhi para aparat legislatif dengan politik uang sebelum pemilihan
diadakan. Uang yang mereka keluarkan dianggap sebagai investasi yang akan
terbayar ketika calon mereka telah menduduki kekuasaannya dan dapat membantu
mereka memenangkan tender berbagai proyek raksasa. Itulah sebabnya orang kaya
di Indonesia itu-itu saja, dalam arti kekayaan mereka tersebut tidak memberikan
manfaat besar pada masyarakat umum (trickle down theory).
Sumber
Kekuatan Politik dalam Demokrasi Pancasila
Setelah menganalisis secara sederhana tentang Kekuatan
Politik di Indonesia, sepertinya kurang lengkap jika kita tidak menyebutkan
tentang sumber-sumber dari kekuatan politik itu sendiri. Meskipun dalam
beberapa literatur Demokrasi Pancasila secara implisit ditafsirkan sebagai nama
lain Orde Baru, yang senantiasa menggunakan Pancasila sebagai propagandanya, kami
menganggap prinsip-prinsip sumber kekuatan politik yang akan disebutkan ini
masih relevan dengan keadaan dewasa ini. Berikut adalah sumber-sumber kekuatan
politik dalam Demokrasi Pancasila.
1.
ABRI;
yang tetap konsisten terhadap Sumpah Prajurit Sapta Marga sehingga seluruh
jajaran Angkatan Bersenjata mempunyai kesatuan dan kekompakan yang kuat untuk
menopang kelanjutan dan kesinambungan Sistem Politik Indonesia.
2.
Pancasila;
sebagai ideologi bangsa Indonesia yang ditetapkan sejak sidang PPKI 18 Agustus
1945.
3.
UUD
1945; sebagai aktualisasi dari pernyataan kemerdekaan Indonesia yang mengikat
seluruh rakyat Indonesia secara konstitusional.
4.
Rakyat
Indonesia; yang memiliki kesadaran dan toleransi yang cukup tinggi karena
karakteristiknya sebagai bangsa yang ramah tamah.
5.
Bangsa
Indonesia; yang mengutamakan persatuan dan kesatuan daripada perpecahan,
menghargai adanya ketegakan demokrasi dalam segala sendi kehidupan
bermasyarakat, dan kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
6.
Sistem
sosial dan Sistem Budaya Indonesia; yang lebih menunjang terhadap terwujudnya
keamanan dan ketertiban karena prinsipnya yang saling memperhatikan dan
memajukan.
7.
Kesadaran
generasi muda intelektual; baik dalam kepedulian terhadap masalah-masalah
sosial maupun keinginan meningkatkan kualitas dirinya.
8.
Sumber
daya alam di Indonesia; yang tersedia melimpah dan menantikan pengolahan secara
efektif untuk kesejahteraan rakyat.
B. Masa pemerintahan orde baru
Runtuhnya
Orde Baru
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya
krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus
memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus
memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat.
Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya
kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan
utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi
besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu
terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas
Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah
Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat
mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan
Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan
mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga
akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU
Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi.
Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri
menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut
menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan
jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai
berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang
MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan
sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut
ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai
terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan.
Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau
Buru. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional
dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu
diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam
konsensus nasional, yaitu :
1.
Pertama berwujud kebulatan tekad
pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
2.
Sedangkan konsensus kedua adalah
konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus
kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai
politik dan masyarakat.
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25
Juli 1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10
Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada
Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret
1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi
Gerakan Pemuda Ansor.
Luapan kegembiraan itu tercermin dalam
Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat
membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI
dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia. Bukan
berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan
kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti
diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya
perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan
siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan
penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian,
diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di
Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari
26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula
menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden
Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil
Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan
(Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI).
Kongres kali ini merupakan moment paling
tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena
itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok:
(1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan
politik gerakan. Penegasan Politik GerakanDalam kongres ini juga merumuskan
Penegasan Politik Gerakan sbb:
1)
Menengaskan Orde Baru dengan beberapa
persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak
kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya.
(c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan
eksistensi Partijwezen;
2)
Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945.
Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan
penganut-penganut agama lain;
3)
Mempertahankan politik luar negeri yang
bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu
dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat
itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya.
Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik itu pula-lah yang
paling menonjol dalam kongres VII tersebut.
Itulah sebabnya, dalam kongres itu
diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan
sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif
Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang
bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan
kepalsuannya.
Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung
dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan
Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu itu sempat
mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya
operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah
tersebut bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi
sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah
menegaskan sikapnya: menolak kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru
ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan
menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah. Tapi,
demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir
pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards
dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia,
akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.
Pendeknya, demokrasi pada mulanya di
salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke
arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum
militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah
ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards. Masalah
Toleransi Agama, Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan
antar umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin
toleransi itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi
daerah serta perasaan penganut agama lain.
Masalah toleransi agama di bahas serius
karena, pada waktu itu pertentangan agama sudah mulai memburuk. Bahkan
bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya timbul isu yang
mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada waktu
itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam
maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin di
batasi bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan
garis kebijaksanaan di kalangan ABRI yang sangat merugikan partai Islam dan
Umat Islam. Dalam Kongres VII juga menyampaikan memorandum kepada pemerintah
mengenai masalah politik dan ekonomi. Dan isi dari memorandum tak lain adalah
manifestasi dari komitmen terhadap ideology Pancasila.
Kelebihan
dan Kekurangan sistem Pemerintahan Orde Baru
Ø
Perkembangan GDP per kapita
Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996
telah mencapai lebih dari AS$1.000
1.
Sukses transmigrasi
2.
Sukses KB.
3.
Sukses memerangi buta huruf
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
4.
Semaraknya korupsi, kolusi,
nepotisme
5.
Pembangunan Indonesia yang tidak
merata
Ø
Bertambahnya kesenjangan sosial
(perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin).
1.
Kritik dibungkam dan oposisi
diharamkan.
2.
Kebebasan pers sangat terbatas,
diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang ditahan
C. Masa Reformasi
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada
tahun 1998 dapat
dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era
Reformasi“.Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde
Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa
orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era
Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah
membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan
hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari
sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik
dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi
politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama. Pemilu
pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai
dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih
suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan
perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis,
ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada
kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan
memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.
Pemerintahan B.J Habibie
Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan
Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan
ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi
ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi,
yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya
kerjasama dengan Dana
Moneter Internasional untuk
membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan
pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa
untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas danMuchtar Pakpahan dibebaskan,
tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara
bergelombang. Tetapi, Budiman
Sudjatmiko dan
beberapa petinggi Partai
Rakyat Demokratik baru
dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan
tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa
diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan
meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa
dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang
olehMahkamah Militer Jakarta
telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk
dalam jabatan struktural.
Beberapa langkah perubahan diambil oleh
Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan
berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu Habibie juga sempat
tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya,
namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi
Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian penting
dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk
mengadakan referendum yang
berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada
Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak
populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie
sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia.
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya
adalah kembali mendapatkan dukungan dariDana
Moneter Internasional dan
komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga
membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisasi.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999
sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era
reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan
jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang
menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman.
Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah
mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian
elite politik, bukan rakyat.
Pemeintahan Abdurahman Wahid.
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD
diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan
putri Soekarno, Megawati
Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu
parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai
Soeharto sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya)
memperoleh 22%; Partai
Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai
Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai
presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid
membentuk kabinet pertamanya, Kabinet
Persatuan Nasional pada
awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan
proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang.
Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga
menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang
ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan
kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro Indonesia mengakibatkan
masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan
tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan
politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati soekarno
putri
Pada Sidang Umum MPR pertama pada
Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan
meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam
skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan
koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang
memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati.
Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Pemerintahan Susilo Bambang
Yudoyono
Pemilu 2004, merupakan pemilu
kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih
presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara
Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang
signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam
pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono,
Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam
dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.
Susilo
Bambang Yudhoyono tampil
sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya
telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada
Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa
bumi lain pada awal 2005 yang
mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil
dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan
Aceh Merdeka yang
bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY yang di tanam sejak
tahun 2004 telah mengantar beliau naik kembali duduk di kursi presiden dengan
pasanganya pak Budiono pada pemilu tahun 2009, kinerja mereka pun belum dapat
dirasakan dengan maksimal.
Kebijakan Ekonomi pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan
pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tujuannya adalah terciptanya
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan
Pancasila. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada TrilogiPembangunan, yang
isinya meliputi hal-hal berikut.
1)
Pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2)
Pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi.
3)
Stabilitas nasional
yang sehat dan dinamis.
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya. Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional disusun Pola Umum
Pembangunan Jangka Panjang yang meliputi kurun waktu 25-30 tahun. Pembangunan
Jangka Panjang (PJP) 25 tahun pertama dimulai tahun 1969 – 1994. Sasaran utama
PJP I adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan tercapainya struktur
ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian. Selain jangka panjang juga
berjangka pendek. Setiap tahap berjangka waktu lima tahun. Tujuan pembangunan
dalam setiap pelita adalah pertanian, yaitu meningkatnya penghasilan produsen
pertanian sehingga mereka akan terangsang untuk membeli barang kebutuhan
sehari-hari yang dihasilkan oleh sektor industri. Sampai tahun 1999, pelita di
Indonesia sudah dilaksanakan sebanyak 6 kali.
Dalam membiayai pelaksanaan pembangunan, tentu
dibutuhkan dana yang besar. Di samping mengandalkan devisa dari ekspor
nonmigas, pemerintah juga mencari bantuan kredit luar negeri. Dalam hal ini,
badan keuangan internasional IMF berperan penting. Dengan adanya pembangunan
tersebut, perekonomian Indonesia mencapai kemajuan. Meskipun demikian, laju
pertumbuhan ekonomi yang cukup besar hanya dinikmati para pengusaha besar yang
dekat dengan penguasa. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan
dan landasan ekonomi yang mantap sehingga ketika terjadi krisis ekonomi dunia
sekitar tahun 1997, Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia
dibangun dalam fondasi yang rapuh. Bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi
dan krisis moneter yang cukup berat. Bantuan IMF ternyata tidak mampu membangkitkan
perekonomian nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab
runtuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998.
Perbandingan Politik Orde Lama dengan Politik Orde Baru
Selama hampir 57
tahun sebagai bangsa merdeka kita dihadapkan pada panggung sejarah perpolitikan
dan ketatanegaraan dengan dekorasi, setting, aktor, maupun cerita yang
berbeda-beda. Setiap pentas sejarah cenderung bersifat ekslusif dan Steriotipe.
Karena kekhasannya tersebut maka kepada setiap pentas sejarah yang terjadi dilekatkan
suatu atribut demarkatif, seperti ORDE LAMA, ORDE BARU dan kini ORDE REFORMASI.
Karena
esklusifitas tersebut maka sering terjadi pandangan dan pemikiran yang bersifat
apologetik dan keliru bahwa masing-masing Orde merefleksikan tatanan
perpolitikan dan ketatanegaraan yang sama sekali berbeda dari Orde sebelumnya
dan tidak ada ikatan historis sama sekali.
Orde Baru lahir
karena adanya Orde Lama, dan Orde Baru sendiri haruslah diyakini sebagai sebuah
panorama bagi kemunculan Orde Reformasi. Demikian juga setelah Orde Reformasi
pastilah akan berkembang pentas sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan lainnya
dengan setting dan cerita yang mungkin pula tidak sama.
Dari perspektif
ini maka dapat dikatakan bahwa Orde Lama telah memberikan landasan kebangsaan bagi
perkembangan bangsa Indonesia. Sementara itu Orde Baru telah banyak memberikan
pertumbuhan wacana normatif bagi pemantapan ideologi nasional, terutama melalui
konvergensi nilai-nilai sosial-budaya (Madjid,1998) Orde Reformasi sendiri
walaupun dapat dikatakan masih dalam proses pencarian bentuk, namun telah
menancapakan satu tekad yang berguna bagi penumbuhan nilai demokrasi dan
keadilan melalui upaya penegakan supremasi hukum dan HAM. Nilai-nilai tersebut
akan terus di Justifikasi dan diadaptasikan dengan dinamika yang terjadi. Dalam
arti ini, apa yang disuarakan Soekarno tentang ‘negara kebangsaan’ di tahun
1945 tidak berbeda jauh dengan konsep ‘pembangunan bangsa’ yang digelorakan
orde baru hingga (orde) reformasi sekarang ini. Karena itu benar bahwa pembangunan
yang digiatkan dalam orde reformasi dan selama orde baru merupakan mata rantai
dari perjuangan menuju pintu gerbang kemerdekaan yang digelorakan Soekarno
ketika bersama para pemuda menyatakan kemerdekaan bangsa ini. Perjuangan menuju
pintu gerbang ini bertali temali dengan landasan persatuan yang ditonggaki Budi
Utomo. Seterusnya semangat Budi Utomo ini ditiupi oleh nafas yang ada dalam
dada para pahlawan yang menentang penjajah.
Masing-masing
era, kurun waktu, orde, karena itu, tidak terlepas satu sama lain dan saling
mengeksklusifkan. Setiap orde, kurun, waktu, masa itu kerap diterima sebagai
babak baru yang lahir sebagai reaksi sekaligus koreksi terhadap orde
sebelumnya. Semangat Budi Utomo digelorakan kembali oleh Soekarno melalui
proklamasi kemerdekaan dan orde lama. Berjalan di luar rel, orde lama kemudian
diganti dengan orde baru. Kendati banyak ketimpangan, harus diakui bahwa orde
lama merupakan anak zaman pada masanya.
Tesis politik
yang dicetuskan orde baru di awal kelahirannya sangat jelas, yakni
demokratisasi politik di samping perbaikan ekonomi. Tesis inilah yang
meromantisasikan perlawanan sosial menentang sistem politik yang tidak
demokratis dan sistem ekonomi yang hancur-hancuran di zaman orde lama. Gilang
gemilang hasil pembangunan orde baru memang sungguh menakjubkan. Masyarakat di
bawah orde baru telah berkembang sangat pesat. Namun harus diterima bahwa
perkembangan itu adalah perkembangan elitis dalam sistem politik yang tunggal
dan monolitik. Pilihan model pembangunan yang bercorak teknokratis yang secara
sengaja memperlemah kekuatan politik non negara untuk menghindari bargaining
politik kemudian melahirkan begitu banyak ketimpangan dalam orde baru. Karena
itulah ketika desakan arus bawah semakin kuat dan dengan didorong hasrat mau
maju, orde baru kemudian ditentang. Orde yang berjalan lebih dari tiga
dasawarsa ini kemudian tumbang dan lahirlah orde yang lebih lazim disebut
sebagai (orde) reformasi.
PEMERINTAHAN
REFORMASI
Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan
jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai
berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai
Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan
rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak
dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang.
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama
dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan
ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa
dan kebebasan berekspresi.
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan
koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar
Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik
dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa
petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman
Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik baru
muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah
atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang
terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi
politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang oleh Mahkamah Militer Jakarta
telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk
dalam jabatan struktural.
Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden
tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:
a. masa depan Reformasi;
b. masa depan ABRI;
c. masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d. masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya;
serta
e. masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil
dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi dari
masyarakat.
a. Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima
paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih
demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
1. UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai
politik
2. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum.
3. UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan
Kedudukan DPR/MPR.
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama
dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai
terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari
berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara
terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat,
kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan
cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).
d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil
diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang
demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain
masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha
Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah
Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur.
Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah
pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas
rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari
Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh
dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana
Gusmao dari Partai Fretilin.
4.
PEMERINTAH INDONESIA BERSATU
PEMERINTAHAN
INDONESIA BERSATU JILID I (ERA SBY-JK) == (2004-2009).
Kabinet
Indonesia Bersatu (Inggris: United
Indonesia Cabinet) adalah kabinet pemerintahan
Indonesia pimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad
Jusuf Kalla.
Kabinet
ini dibentuk pada 21
Oktober 2004 dan masa
baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden
Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya, dan setelah
melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya, Presiden
melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007. Susunan
Kabinet Indonesia Bersatu pada awal pembentukan (21 Oktober 2004), perombakan
pertama (7 Desember 2005), dan perombakan kedua (9 Mei 2007).
Pada
periode ini, pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan
untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya Bantuan Langsung Tunai
(BLT), PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini
berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan
disana-sini.
PEMERINTAHAN
INDONESIA BERSATU JILID II (ERA SBY-BOEDIONO) (2009-2014).
Kabinet
Indonesia Bersatu II (Inggris: Second United Indonesia
Cabinet)
adalah kabinet
pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan Wakil PresidenBoediono. Susunan
kabinet ini berasal dari usulan partai politik pengusul
pasangan SBY-Boediono pada Pilpres
2009 yang
mendapatkan kursi di DPR (Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB) ditambah Partai Golkar yang
bergabung setelahnya, tim sukses pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009, serta
kalangan profesional. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II diumumkan oleh
Presiden SBY pada 21
Oktober 2009 dan
dilantik sehari setelahnya. Pada 19 Mei 2010, Presiden SBY
mengumumkan pergantian Menteri Keuangan.
Pada
periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat
kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
1.
BI
rate
2.
Nilai
tukar
3.
Operasi
moneter
4.
Kebijakan
makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas
modal.
Dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Kinerja Pemerintahan SBY - Tak
terasa sudah 1
tahun pemerintahan SBY jilid II berjalan, Namun
masih saja dianggap gagal serta mendapat rapor merah dari beberapa kalangan.
Dan kali ini pengamat ekonomi dunia pun ikut bicara terkait dengan kinerja
pemerintahan SBYyang
sudah 1 tahun ini. Perolehan suara 60 % dalam Pilpres 2009 dan mendapat
dukungan mayoritas di parlemen ternyata belum bisa dioptimalkan pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Boediono untuk melakukan langkah-langkah yang konkrit
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Di
mata pengamat ekonomi politik dari Northwestern University, Amerika Serikat,
Prof Jeffrey Winters, buruknya kinerja
pemerintahan SBY tidak
lepas dari sikap Presiden SBY dalam menjalankan pemerintahan. SBY dianggap
lebih suka terlihat cantik, santun dan berambut rapi di depan kamera dibanding
bekerja keras mengatasi persoalan-persoalan yang ada di Indonesia.
Apa
pandangan Anda terhadap kinerja SBY-Boediono selama menjalankan pemerintahan?
Sampai
saat ini dilihat kinerja
pemerintahan SBY-Boediono rendah. Dan perlu dicatat
prestasi yang rendah kepemimpinan SBY bukan sesuatu yang baru. Karena sejak
2004 memang kinerjanya tidak pernah tinggi. Jadi kombinasi SBY-Kalla yang sudah
mengecewakan menjadi lebih parah dengan kombinasi SBY-Boediono.
Meski
pada masa SBY-JK kinerjanya buruk, paling tidak Jusuf Kalla dikenal sebagai
orang yang tidak sabar dan sering mendorong SBY untuk bertindak dan ambil
keputusan. Tetapi akhirnya Kalla menjadi capek, frustrasi dan memilih lepas
saja. Tapi lepas dari itu semua pemerintahan SBY juga sudah melakukan
tugas-tugas yang seharusnya dilakukan walaupun belum maksimal.
Hari baik untuk semua warga negara Indonesia dan juga seluruh ASIA, nama saya adalah Ibu Nurliana Novi, saya ingin membagikan kesaksian hidup saya di sini mengenai platform ini untuk semua warga negara Indonesia dan seluruh asia untuk berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Allah telah mendukung saya melalui ibu Nyonya Elina yang baik
BalasHapusSetelah beberapa saat mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan ditolak terus, maka saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tapi saya ditipu dan kehilangan Rp 15.000.000 dengan pinjaman pinjaman yang berbeda.
Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi saya berdiskusi dengan seorang teman saya yang kemudian memperkenalkan saya kepada Nyonya Elina, pemilik perusahaan pinjaman global, jadi teman saya meminta saya untuk melamar dari Nyonya Elina, jadi saya mengumpulkan keberanian dan menghubungi Mrs. Elina.
Saya mengajukan pinjaman sebesar Rp500.000.000 dengan tingkat bunga 2%, sehingga pinjaman tersebut disetujui dengan mudah tanpa tekanan dan semua pengaturan dilakukan sehubungan dengan pengalihan kredit, karena tidak memerlukan jaminan dan jaminan pinjaman. Transfer saya hanya diberitahu untuk mendapatkan sertifikat perjanjian lisensi aplikasi Mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari dua jam uang pinjaman telah dimasukkan ke rekening bank saya.
Saya pikir itu adalah lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya dikreditkan sebesar Rp500.000.000. Saya sangat senang bahwa ALLAH akhirnya menjawab doaku dengan memesan pinjaman saya dengan pinjaman awal saya, yang telah memberi saya keinginan hati saya.
Mereka juga memiliki tim ahli yang akan memberi tahu Anda tentang jenis bisnis yang ingin Anda investasikan dan bagaimana menginvestasikan uang Anda, sehingga Anda tidak akan pernah bangkrut lagi dalam hidup Anda.
Semoga ALLAH memberkati Ibu Elina karena telah membuat hidup saya mudah, jadi saya menyarankan siapapun yang tertarik untuk mendapatkan pinjaman agar dapat menghubungi Ibu Elina melalui email: elinajohnson22@gmail.com untuk pinjaman Anda
Akhirnya saya ingin mengucapkan terima kasih untuk meluangkan waktu untuk membaca kesaksian tentang kehidupan sejati saya tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan akan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda.
Satu lagi nama saya adalah mrs nurliana novi, Anda bisa menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui email saya: nurliananovi96@gmail.com