Senin, 10 April 2017

Kekuatan Politik di Indonesia




Latar Belakang Permasalahan: Kekuasaan sebagai Asosiasi terhadap Kekuatan Politik
Sejak awal hingga perkembangan terakhir ada sekurang-kurangnya lima pandangan mengenai politik; salah satunya adalah politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah; apa yang dimaksud dengan kekuasaan?
Secara umum, kekuasaan disepakati sebagai kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan bertindak sesuai kehendak yang mempengaruhi, dan dilihat sebagai interaksi antara pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi. Kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat dalam proses politik, namun tidak ada kesepakatan mengenai makna kekuasaan diantara para ilmuwan politik. Beberapa menganjurkan untuk meninggalkan konsep kekuasaan karena bersifat kabur dan berkonotasi emosional, namun politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral.
Dalam perbendaharaan ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang berkaitan dengan kekuasaan (power); seperti pengaruh (influence), persuasi (persuasion), manipulasi (manipulation), peragaan ancaman kekuasaan (coercion), penggunaan tekanan fisik (force), dan kewenangan (authority).
Dalam asosiasinya terhadap kekuatan politik, dapatlah ditarik benang merah bahwa tidak mungkin ada kekuatan dalam hal apapun, bukan hanya politik tanpa adanya kekuasaan. Maka dalam pembahasan mengenai kekuatan politik, pertama-tama kita perlu sedikit menguraikan konsep kekuasaan.
Begitu banyak pembahasan mengenai kekuasaan politik, namun tiga masalah utama yang selalu diamati oleh ilmuwan politik berkenaan hal ini adalah bagaimana kekuasaan dilaksanakan, bagaimana kekuasaan didistribusikan, dan mengapa suatu pihak tertentu memiliki kekuasaan lebih besar dari yang lain dalam situasi dan kondisi tertentu.
Indonesia, dalam 61 tahun pasca kemerdekaan, telah mengenal kekuatan politik dalam berbagai bentuk, baik formal maupun anomie, yang telah menempati berbagai posisi kekuasaan seiring waktu yang berjalan, dari mulai Revolusi Kemerdekaan sampai periode Reformasi, yang kesemuanya layak dibahas demi mencapai sebuah tujuan bernama pemahaman, karena pemahaman adalah titik awal untuk dapat mengevaluasi suatu objek pengetahuan.


Kekuatan Politik Indonesia: Masa Revolusi Kemerdekaan

Para penyelenggara negara pada awal periode kemerdekaan memiliki komitmen yang sangat besar terhadap mewujudkan demokrasi politik di Indonesia. Terdapat beberapa hal fundamental yang menjadi peletakan dasar demokrasi di Indonesia, sekaligus dapat dikatakan sebagai kekuatan-kekuatan politik di awal terbentuknya NKRI.
Pertama adalah political franchise yang menyeluruh, sejak kemerdekaan telah dinyatakan dari pemerintah kolonial Belanda, semua warga negara yang telah dianggap dewasa memiliki hal-hak politik yang sama tanpa diskriminasi berdasarkan ras, agama, suku, dan kedaerahan. Meskipun tidak berwujud konkrit, hal ini merupakan suatu kekuatan politik di awal kemerdekaan Indonesia yang bertujuan mendukung kehidupan berpolitik yang kondusif.
Kedua adalah Lembaga Kepresidenan, yang pada awal terbentuknya dapat dikatakan bersifat mutlak dan berpeluang menjadi suatu kediktatoran, sebelum Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kemudian dibentuk untuk menggantikan parlemen, dan meninggalkan Presiden sebagai personifikasi kekuasaan.
Ketiga, adalah Maklumat Wakil Presiden nomor X (baca: eks) yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945 atas usul KNIP yang menyatakan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif sebelum terbentuknya MPR dan DPR, yang kemudian berkelanjutan hingga membentuk sistem pemerintahan parlementer. Seperti halnya poin pertama, Maklumat yang tidak bersifat konkrit sebagaimana halnya Lembaga Kepresidenan, tetap menjadi kekuatan politik yang berpengaruh, dalam hal ini adalah mengendalikan kekuatan politik lainnya (baca: Presiden) dari kemungkinan kediktatoran.

Sejarah Orde Lama: Demokrasi Terpimpin
Sejarah orde lama atau sejarah Demokrasi terpimpin adalah dimana yang memimpin bangsa ini adalah Bung Karno atau Ir. Soekarno. Selama masa orde lama ini, ada sistem yang pernah diterapkan di Indonesia, yakni:
Masa demokrasi liberal
Demokrasi yang dipakai adalah demokrasi parlementer atau demokrasi liberal. Demokrasi pada masa itu telah dinilai gagal dalam menjamin stabilitas politik. Ketegangan politik demokrasi liberal atau parlementer disebabkan hal-hal sebagai berikut:
Dominannya politik aliran maksudnya partai politik yang sangat mementingkan kelompok atau alirannya sendiri dari pada mengutamakan kepentingan bangsa Landasan sosial ekonomi rakyat yang masih rendah. Tidak mampunya para anggota konstituante bersidang dalam mennetukan dasar negara.
Presiden sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi 3 keputusan yaitu:
Menetapkan pembubaran konstituante menetapkan UUD 1945 berlaku kembali sebagai konstitusi negara dan tidak berlakunya UUDS 1950 pembentukan MPRS dan DPRS dengan turunnya dekrit presiden berakhirlan masa demokrasi parlementer atau demokrasi liberal.
Masa demokrasi terpimpin
Menurut Ketepan MPRS no. XVIII/MPRS /1965 demokrasi trepimpin adalah kerakyatan yang dipimpn oleh hikmat kebijaksamaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi terpimpin merupakan kebalikan dari demokrasi liberal dalam kenyataanya demokrasi yang dijalankan Presiden Soekarno menyimpang dari prinsip-prinsip negara demokrasi.
Penyimpanyan tersebut antara lain:
  1. Kaburnya sistem kepartaian dan lemahnya peranan partai politik
  2. Peranan parlemen yang lemah
  3. Jaminan hak-hak dasar warga negara masih lemah
  4. Terjadinya sentralisasi kekuasaan pada hubungan antara pusat dan daerah
  5. Terbatasnya kebebasan pers sehingga banyak media masa yang tidak dijinkan terbit.
Akhirnya dari demokrasi terpimpin memuncak dengan adanya pemberontakan G 30 S / PKI pada tanggal 30 September 1965. Demokrasi terpimpin berakhir karena kegagalan presiden Soekarno dalam mempertahankan keseimbangan antara kekuatan yang ada yaitu PKI dan militer yang sama-sama berpengaruh. PKI ingin membentuk angkatan kelima sedangkan militer tidak menyetujuinya. Akhir dari demokrasi terpimpin ditandai dengan dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan.
Pada era orde lama (1955-1961), situasi negara Indonesia diwarnai oleh berbagai macam kemelut ditngkat elit pemerintahan sendiri. Situasi kacau (chaos) dan persaingan diantara elit politik dan militer akhirnya memuncak pada peristiwa pembenuhan 6 jenderal pada 1 Oktober 1965 yang kemudian diikuti dengan dengan krisi politik dan kekacauan sosial. Pada massa ini persoalan hak asasi manusia tidak memperoleh perhatian berarti, bahkan cenderung semakin jauh dari harapan.
Unsur-unsur Penegakan Dremokrasi
  1. Negara hukum
  2. Masyarakat madani
  3. Infrastruktur politik (parpol, kelompok gerakan, kelompok kepentingan, kelompok penekan)
  4. Pers yang bebas dan bertanggung jawab

Kekuatan Politik Indonesia: Masa Pemerintahan Parlementer dan Demokrasi Terpimpin

Pada masa pemerintahan parlementer (1950-1959) yang berlangsung dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), dapat dikatakan sebagai simbolisasi kejayaan demokrasi di Indonesia. Maka dari itu, kita tidak bisa tidak menyebutkan parlemen sebagai salahsatu kekuatan politik di Indonesia, yang pada masa itu tengah jaya-jayanya. Kejayaan parlemen pada masa pemerintahan parlemen didukung oleh sejumlah kekuatan politik; seperti kekuasaan parlemen terhadap kabinet lewat sejumlah mosi tidak percaya yang mengakhiri kabinet, akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi yang sangat tinggi karena lembaga perwakilan rakyat (parlemen) berfungsi dengan baik, adanya pers sebagai instrumen politik sekaligus alat kontrol sosial, dan masyarakat umum yang dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi sama sekali dengan adanya berbagai kebebasan termasuk kebebasan berpendapat tanpa rasa khawatir akan resiko keselamatan diri. Namun dominasi politik aliran yang membawa konsekuensi pengelolaan konflik, basis sosial-ekonomi yang masih sangat lemah, dan adanya persamaan kepentingan antara Presiden Soekarno dan kalangan Angkatan Darat yang sama-sama tidak senang dengan proses politik yang tengah berjalan saat itu, mengakibatkan berakhirnya masa pemerintahan parlementer, dan digantikan oleh Demokrasi Terpimpin.

Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer

  1. Kekuasaan legislatif lebih kuat dari pada kekuatan ekspekutif
  2. Meteri-menteri (kabinet) harus mempertanggungjawabkan tindakan kepada DPR
  3. Program kebijaksanaan kabinet harus disesuaikan dengan tujuan politik sebagian anggota parlemen.
Demokrasi Terpimpin dimulai pada 5 Juli 1959 setelah Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya adalah pembubaran Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945, dan memberi kesempatan pada Kepala Negara untuk mewujudkan gagasan politiknya dan memainkan peranan publik yang selama masa pemerintahan parlementer tidak dapat dilakukannya berkaitan dengan posisinya yang hanya menjadi simbolisasi kekuasaan. Di samping itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sebelumnya hanya berperan sebagai kekuatan politik oposisi, kemudian masuk dalam kekuasaan eksekutif dan menjadi salah satu aliansi yang sangat diperlukan oleh Soekarno. Di lain pihak, Angkatan Darat juga muncul sebagai kekuatan politik yang sangat kuat karena didukung oleh keadaan, karena sejak awal AD telah mengamati bahwa PKI merupakan ancaman yang membahayakan NKRI. Politik pada masa Demokrasi Terpimpin diwarnai oleh tarik-ulur yang sangat kuat antara tiga kekuatan politik yang utama pada saat itu; yaitu Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat.

      A.    Masa pemerintahan orde lama
Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan PresidenSoekarno di Indonesia.Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesiamenggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei),  Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai  dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai.  Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
Secara umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai Presiden, sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat itu. Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalamPolitik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai berikut:
Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga  konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya partai-partai politik;
Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi ke arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika Presiden Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh partai-partai politik melalui free fight (Yahya Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta : LP3ES).
Sejak zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta yang seringkali disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an, keduanya  telah beberapa kali ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Pada masa pendudukan Jepang, kedua tokoh ini mendapatkan pengakuan sebagai wakil-wakil rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan naskah Proklamasi, keduanya terlibat dalam proses penyusunan naskah teks proklamasi kemerdekaan. Pada detik-detik menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak desakan para pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad Hatta belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: Saya tidak akan membacakan Proklamasi kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu Bung Hatta, silahkan baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi salah satu tokoh pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks Proklamasi. Begitu percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta,  pada tahun 1949, ia meminta agar Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus juga menjadi Perdana Menteri.
Mohammad Hatta selalu menekankan perlunya dasar hukum dan pemerintahan yang bertanggung jawab, karena itu Hatta tidak setuju ketika Presiden Soekarno mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur kabinet yang tidak perlu bertanggung jawab, tidak dapat diganggu gugat, serta menggalang kekuatan-kekuatan revolusioner guna membersihkan lawan-lawan politik yang tidak setuju dengan gagasannya. Konflik ini mencapai puncaknya. Setelah pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin pada tanggal 21 Februari 1957 di hadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka. Presiden Soekarno mengemukakan Konsepsi Presiden, yang pada pokoknya berisi:
1.                  Sistem Demokrasi Parlementer secara Barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2.                  Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang angotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan Kabinet Kaki Empat yang mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), turut serta di dalamnya untuk menciptakan kegotongroyongan nasional.
3.                  Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini, tugas utamanya adalah memberi nasihat kepada Kabinet, baik diminta maupun tidak diminta.
Dengan konsep yang diajukan Soekarno itu, Hatta menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak dapat menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu, dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi yang benar. Jelas, bagi Bung Hatta, ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Soekarno, sahabat seperjuangannya, telah dilakukan. Tetapi Soekarno tidak berubah sikap. Sebaliknya, Hatta pun tidak menyesuaikan dirinya dengan pandangan sikap dan pendapat Soekarno.
Mohammad Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sebelum Soekarno menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1 Desember 1956, Mohammad Hatta mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden kepada DPR hasil Pemilihan Umum 1955. Pada tanggal 5 Februari 1957 berdasarkan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden Soekarno memberhentikan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Namun, pengunduran diri Mohammad Hatta dari posisi Wakil Presiden tidak mengakibatkan hubungan pribadi keduanya menjadi putus. Bung Karno dan Bung Hatta tetap menjaga persahabatan yang telah mereka jalin sejak lama.
Pengunduran diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan Presiden. Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti dengan gejolak politik. Juga tidak ada tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan pendapat antara Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih kepada visi dan pendekatan Mohammad Hatta  yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola Negara. Perbedaan itu, sesungguhnya telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan itu makin memuncak pada pertengahan tahun 1950-an. Soekarno menganggap revolusi belum selesai, sementara Hatta menganggap sudah selesai sehingga pembangunan ekonomi harus diprioritaskan (Adnan Buyung Nasution, Refleksi Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM, Jakarta: CIDES, 20 Juni 2002).
Meskipun telah mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung Hatta aktif kembali. Di dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas â€Å“Masalah Dwitunggal Soekarno-Hatta Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR mengajukan mosi mengenai â€Å“Pemulihan Kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. DPR kemudian menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mencari â€Å“bentuk kerjasama Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29 November 1957 dan dikenal sebagai Panitia Sembilan?, yang diketuai oleh Ahem Erningpraja. Namun, Panitia Sembilan ini dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa menghasilkan sesuatu yang nyata (Sekretariat Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964).
Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden yang mampu menjadi satu kesatuan dengan Presiden Soekarno, sehingga seringkali disebut Dwitunggal. Pelaksanaan konsep Dwitunggal Soekarno-Hatta telah menempatkan kedudukan dan fungsi Wakil Presiden menjadi sama dengan Presiden, padahal menurut UUD 1945 kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden? serta dapat menggantikan Presiden jika Presiden berhalangan. Fenomena ini menjadi semakin jelas apabila diperhatikan praktik ketatanegaraan yang berlangsung antara tahun 1945 sampai tahun 1956. Pada  masa ini, Wakil Presiden banyak melakukan tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan perundang-undangan antara lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945; Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik; dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan  UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang Penunjukkan Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, Indonesia menganut sistem parlementer. Jika keadaan ini dihubungkan dengan persoalan Presiden berhalangan serta pengisian jabatannya untuk sementara oleh Wakil Presiden, maka tindakan yang dilakukan oleh Wakil Presiden di bidang ketatanegaraan dapat ditafsirkan sebagai suatu pengisian jabatan Presiden untuk sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut konsep Dwitunggal, maka tindakan Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.
Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baruyang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarnosecara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin“. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Baratpada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah “rencana neo-kolonial” untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB danGANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).
Nasib Irian Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawadan Bali.
 PEMERINTAHAN ORDE LAMA
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, sudah banyak  tokok-tokoh negara yang saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi bangsa Indonesia, baik secara individu maupun diskusi kelompok. Tetapi pada pemerintah orde lama masih belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi negara Republik Indonesia yang memburuk.

Orde lama (Demokrasi Terpimpin)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain  disebabkan oleh :
a.                   Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
b.                  Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
c.                   Kas negara kosong.
d.                  Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
1.                  Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan   persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
2.                  Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
3.                  Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
4.                  Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948.
5.                  Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
1)                  Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk  mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
2)                  Program Benteng (Kabinet Natsir).
3)                  Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
4)                  Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo.
5)                  Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.

Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia.

Kekuatan Politik di Indonesia: Masa Orde Baru
Dalam model Modern Personal Rule yang diajukan William Liddle (1985) mengenai Indonesia Orde Baru, tampak bahwa kekuatan politik di Indonesia pada masa Orde Baru terbagi atas tiga jajaran utama: Presiden dengan segala atributnya, Angkatan Bersenjata, dan Birokrasi.
Dalam analogi piramida kekuatan politik, Lembaga Kepresidenan atau Presidency di Indonesia menempati puncak kekuasaan secara keseluruhan, menjadi primus inter pares yang utama diantara yang setara diantara lembaga tinggi negara yang lain seperti DPR, DPA, MA, dan BPK, sebagai konsekuensi kemampuan Presiden dalam mengontrol dan menggunakan political resources. Presiden mengontrol rekruitmen politik dalam negara, termasuk untuk jabatan lembaga tinggi negara, anggota badan legislatif serta judikatif, dan di kalangan Angkatan Bersenjata berkaitan dengan posisinya sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Selain itu, Presiden juga memiliki sejumlah financial resources yang didalamnya mengatur proses perumusan budgeting dan pendistribusian dana pembangunan nasional. Oleh karenanya, tidak heran jika proses politik, berjalan dengan sedikit banyak ditentukan oleh persepsi dan orientasi Lembaga Kepresidenan.
Dalam perjalanan politik Orde Baru, lembaga kepresidenan menjadi pusat seluruh proses politik yang berjalan di Indonesia, sebagai pembentuk dan penentu agenda sosial, ekonomi, dan politik nasional, dengan kekuasaan yang sedemikian besar dala rekrutmen opilitik dan sumber daya keuangan yang tidak terbatas, dan sejumlah hak khusus yang dimiliki Presiden seperti Mandataris MPR, Pemegang Supersemar, Bapak Pembangunan, dan Panglima Tertinggi ABRI.
Pada jajaran kedua adalah Angkatan Bersenjata terutama Angkatan Darat yang berperan penting terutama sebagai stabilisator dan dinamisator politik. Namun, prevalensi ABRI dapat juga ditemukan dalam berbagai bidang lain, seperti ekonomi, sosial-kemasyarakatan, termasuk olahraga dan kesenian. Dalam bidang politik, ABRI memainkan politik baik secara langsung maupun tdak, melalui organisasi sosial politik misalnya Golongan Karya. Peranan politik ABRI Orde Baru adalah sebagai pembentuk suasana yang baik, agar semua kebijaksanaan pemerintah dapat diwujudkan atau diimplementasikan dengan baik.
Sebagai kekuatan politik yang berfungsi untuk merealisir Demokrasi Pancasila, ABRI perlu memenuhi persyaratan pokok yaitu penerimaan dan kepercayaan masyarakat. Sementara itu, masalah utama yang berkenaan dengan penerimaan (legitimasi) masyarakat adalah bagaimana prosedur pengakuan itu berlangsung dalam proses kehidupan politik.
Yang terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah birokrasi. Diungkapkan oleh William Liddle (1988), bahwa birokrasi Indonesia memiliki karakteristik khusus yaitu citra diri (self image) yang benevolence, sehingga birokrasi terdoktrinasi oleh persepsi diri sebagai pelindung, pengayom, pemurah, baik hati terhadap rakyatnya. Sementara itu, rakyat dianggap tidak tahu apa-apa alias bodoh, dan oleh karena itu, birokrasi berperan untuk “mendidik” masyarakat. Karena birokrasi adalah benevolence, maka sudah seharusnya bagi rakyat untuk patuh, taat, dan setia terhadap pemerintahnya. Pola hubungan benevolence-obedience ini menjadi dominan dalam mewarnai interaksi antara pemerintah dan masyarakat di Indonesia.
Sementara itu, perjalanan politik Indonesia juga menunjukkan kecenderungan kuat bahwa birokrasi sebagai instrumen politik suatu rezim tampak jelas sejak masa kolonial. Sedangkan pada masa pasca-kemerdekaan, birokrasi mengalami proses politisasi sekaligus fragmentasi. Sekalipun jumlahnya tidak terlalu besar, aparat pemerintah bukanlah suatu organisasi uang menyatu karena telah terbagi-bagi dalam partai politik yang bersaing dengan sangat intesnif guna memperoleh dukungan. Hal itu tentu saja sangatlah tidak sehat karena peranan ideologi masing-masing partai meningkatkan proses fragmentasi yang sangat tinggi. Arah gerak birokrasi pun masih mengalami polarisasi yang sangat tajam dengan mengikuti arus polarisasi politik masyarakat, sementara partai-partai politik memiliki peranan politik yang sangat terbatas yang mengakibatkan politisasi birokrasi tidak mengalami intensitas yang tinggi dibanding masa sebelumnya.
Akan tetapi, secara keseluruhan kekuatan-kekuatan politik di masa Orde Baru dapat pula dikategorikan kedalam tiga golongan seperti yang dijelaskan dibawah ini:
Golongan radikal, yang menghendaki supaya kesempatan tidak diberikan kepada mereka yang berkolaborasi dengan Orde Lama. Pemuka-pemuka kelompok ini terutama dari kalangan yang condong ke Barat dalam mengambil contoh untuk mengatur kehidupan politik dan ekonomi Indonesia, misalnya para pemuka partai yang dilarang oleh rezim Orde Lama seperti Masyumi dan PSI terhadap pembersihan Orde Baru dari pengaruh Orde Lama, yang intinya adalah penjauhan Orde Baru dari segala usaha yang telah dicoba oleh Soekarno.
Sementara golongan konservatif, yang lebih diwarnai oleh politik sipil, juga menghendaki pembersihan sisa-sisa rezim Orde Lama, namun menghendaki peranan besar dalam politik Indonesia. Maka golongan moderat muncul dengan jalan tengah; melalui tradisi cara penyelesaian khas Indonesia, maka setahap demi setahap Soeharto memperkecil peranan politik Soekarno sampai munculnya Tap MPRS bulan Maret 1967 yang mengakhiri peranan Soekarno dalam kehidupan politik Indonesia.

Kekuatan Politik di Indonesia: Pasca Orde Baru
Pasca Orde Baru, politik di Indonesia mendapati adanya tiga kekuatan raksasa yang, dengan posisi dan porsinya masing-masing, berperan penting dalam kehidupan politik di Indonesia. Yang pertama adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sejak lama ABRI merupakan kekuatan politik yang paling kuat karena dwifungsinya berhasil meneruskan karisma TNI sebagai pejuang kemerdekaan RI dan telah disinambungkan oleh Bung Karno dan Presiden Soeharto dan terpaksa dilanjutkan oleh Presiden Habibie. ABRI ini mempunyai kekuatan yang paling dahsyat karena historinya, karena sudah merupakan establishment yang tidak bisa digoyang-goyang, dan karena organisasi dan disiplinnya yang canggih. Tidak ada kekuatan politik lain yang mempunyai kinerja ala ABRI yang modern. Di atas kesemuanya itu di Indonesia ini hanya ABRI mempunyai sistem kerjasama internasional baik dengan Israel secara tertutup dan dengan DIA (Defense Intelligence Agency) Pentagon secara terbuka, untuk tidak menyinggung CIA yang terlalu sensitif.
Kekuatan kedua adalah Muslim. Dalam hal ini kita memerlukan sedikit pendalaman mengingat pluralisme Islam di Indonesia. Namun secara umum, masyarakat muslim Indonesia mengenal Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU adalah gerakan ulama-ulama Islam di Indonesia yang dipelopori KH. Wahid Hasyim Asyari. Melalui lembaga pendidikan pondok pesantren, NU berhasil menanamkan semangat dan watak anti kolonialisme dengan berpegang pada ajaran Islam, memelihara semangat ahlussunah wal jamaah, dan menggalang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia khususnya umat Islam. Dalam perjalanan sejarah, tampak jelas keikutsertaan NU dalam kancah politik formal. Sejak didirikan pada 1926, NU tampil sebagai organisasi sosial keagamaan, bahkan pada pemilu pertama tahun 1955, NU termasuk empat besar parpol pemenang pemilu. Karena kekuatan kharismatis kyai dalam organisasi ini sangatlah besar sehingga menjadi ketaatan yang sulit ditolak istilahnya “kami dengar dan kami taat” komando dikuasai oleh pimpinan organisasi. Pasca Orde Baru, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi pengejawantahan partisipasi NU dalam kancah politik Indonesia.
Sementara itu, Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan pada 1912 telah menjadi organisasi keagamaan yang memberi saham secara nasional terutama karena ikut mendewasakan kemerdekaan dan membangun bangsa Indonesia. Peranannya dalam gerakan nasional sangat strategis mengingat pendidikan yang diembannya memangun masyarakat dalam kultur, peradaban, dan akidah, kendati ketiganya merupakan hal monumental untuk dimodernisasikan. Muhammadiyah turut pula berperan dibalik eksistensi Partai Amanat Nasional (PAN) yang dimotori Amien Rais.
Sebagai “gerakan lama”, NU dan Muhammadiyah telah memiliki tempat tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Namun demikian, reformasi di segala bidang turut mendorong tumbuhnya ormas-ormas Islam baru. Salah satu diantaranya adalah paham Ikhwanul Muslimin (IM), yang dimulai oleh Imam Al Banna di Ismailiyah di awal abad ke-19. Bagi IM, partai politik apapun dapat berdiri dengan nuansa kedaerahan masing-masing namun harus tetap berpedoman pada Al Quran dan Al Hadis. Di Indonesia, idealisme ini kemudian diadopsi dan diimplementasikan oleh Partai Keadilan Sejahtera.
Selain itu, muncul pula fenomena lain yang merupakan format baru dari gerakan politik Islam, yaitu munculnya kelompok Islam “garis keras” suatu istilah buatan Barat yang sebenarnya kurang tepat, tapi terpaksa digunakan disini untuk kepentingan identifikasi. Kelompok ini berada diluar partai politik (non partisan). Tapi mereka memiliki kesadaran dan kepedulian sosial-politik yang sangat tinggi. Mereka secara aktif menjadi “pressure group” untuk kepentingan politik Islam, terutama menyangkut penegakan syariat Islam. Yang paling populer dari kelompok ini adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam). Posisi mereka dianggap signifikan karena selain memiliki kader-kader yang cukup terdidik dan militan, juga karena terdapat kecenderungan rekruitmen anggota kelompok ini terus berjalan.
Kekuatan ketiga adalah kekuatan baru yang laten (tersembunyi): Proletar. Mungkin istilah ini merupakan kejutan dahsyat bagi para anti-komunis dan golongan allergis-Marxist. Proletar Indonesia harus diakui merupakan mayoritas, namun mereka tidak mempunyai organisasi, tidak mempunyai pemimpin, tidak mempunyai ideologi, tidak mempunyai apapun kecuali baju yang melekat di tubuhnya. Kita sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa peristiwa Mei yang hanya terjadi di satu kota, Jakarta, begitu menakutkan sehingga penduduk asing dan keturunan Cina berlarian ke luar negeri. Padahal ini baru sebagian kecil yang sporadis. Kita tidak bisa membayangkan kalau terjadi serempak jangankan di seluruh Indonesia, di Jawa saja akan cukup menggegerkan dunia a la letusan Gunung Krakatau. Memang lebih tepat Proletar Indonesia ini disebut Gunung Krakatau yang aktif tapi tidur, yang kalau sudah bangun mempunyai kekuatan dahsyat yang destruktif.
Satu-satunya jalan untuk menenangkan Proletar adalah mencukupi sandang pangannya justru dalam masa kritik seperti sekarang ini. Inilah tugas mission impossible dari kekuatan politik formal yang lain, yang harus bahu membahu mencegah dan mengamankan potensi destruktifnya Proletar, tapi juga tidak menambah kekecewaan, menambah lapar mereka. Tampaklah bahwa di antara ketiga kekuatan itu ABRI yang paling unggul hingga diduga akan mampu memelihara keamanan dan ketertiban nasional. Namun menurut sejarah dan pengalaman kita, politik itu paling unpredictable. Dalam sekejap bisa terjadi yang selama ini dianggap inconceivable (mustahil). Kalau Muslim fundamentalis masih predictable karena para pemimpinnya masih bisa "dipegang", maka Proletar yang tidak berideologi dan tidak punya pemimpin akan menjadi massa yang tidak bisa di-tackle kalau sudah terlanjur bergerak bangun dari tidurnya.

Kekuatan Politik di Indonesia: Kekuatan Politik Anomie
Membicarakan kekuatan politik anomie tidak bisa lepas dari mahasiswa dan angkatan muda, namun diantara keduanya terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Angkatan muda disebut demikian karena kategori usia mereka tanpa memandang tingkat pendidikan, sementara mahasiswa merupakan bagian angkatan muda yang menempuh pendidikan tinggi. Mahasiswa sebagai komponen universitas mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam pemikiran, pembicaraan, dan penelitia tentang berbagai masalah, yang mana kesempatan tersebut tidak dimiliki oleh angkatan muda pada umumnya, sehingga mahasiswa termasuk yang terkemuka dalam memberi perhatian pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat secara nasional. Bagaimanapun mahasiswa dijegal oleh beragam aturan dalam kampus, mereka tetap merupakan kekuatan politik yang besar, sehingga para elit kekuasaan memenfaatkan mahasiswa untuk menjatuhkan penguasa.
Beberapa karakteristik mahasiswa yang menjadi faktor pendorong bagi meningkatnya peran mereka dalam kehidupan politik angkatan muda misalnya:
Pertama, sebagai kelompok masyarakat dengan pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horizon yang luas diantara keseluruhan untuk lebih mampu bergerak diantara pelapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan mahasiswa, sehingga universitas kentara bermakna sebagai pembentukan akulturasi sosial dan budaya pada angkatan muda. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat, dengan sendirinya merupakan elit dalam kalangan angkatan muda. Dan kelima, meningkatnya kepemimpinan mahasiswa di kalangan angkatan muda tidak terlepas dari perubahan kecenderungan orientasi universitas.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam proses politik di Indonesia saat ini adalah bahwa selain sebagai saluran mengetengahkan situasi dan keinginan masyarakat, aktivitas politik mahasiswa yang terjun ke arena politik ketika terjadi situasi anomie yang kuat di masyarakat dilihat pula sebagai salahsatu ukuran kepuasan masyarakat.

Dua kekuatan politik lain yang tak kalah besar adalah pers dan pengusaha.
Pers, sebagai pembentuk opini publik lewat media-media yang mereka gawangi, juga dapat dikategorikan sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia. Pers dianggap sebagai kekuatan yang dianggap berpengaruh, saking kuatnya pengaruh pers sehingga di masa Orde Baru dikenal Departemen Penerangan yang menjegal kekuatan politik pers dan kebebasan mereka.
Sementara pengusaha, sebagai pelaku pasar yang dapat memanfaatkan isu dan sebagai sumber utama pemungutan pajak, menjadi dekat dengan pemerintah. Dalam hal ini terjadi siklus dimana pengusaha menjadi financial supporter bagi bakal calon Gubernur, Walikota, atau Bupati, dengan cara mempengaruhi para aparat legislatif dengan politik uang sebelum pemilihan diadakan. Uang yang mereka keluarkan dianggap sebagai investasi yang akan terbayar ketika calon mereka telah menduduki kekuasaannya dan dapat membantu mereka memenangkan tender berbagai proyek raksasa. Itulah sebabnya orang kaya di Indonesia itu-itu saja, dalam arti kekayaan mereka tersebut tidak memberikan manfaat besar pada masyarakat umum (trickle down theory).

Sumber Kekuatan Politik dalam Demokrasi Pancasila
Setelah menganalisis secara sederhana tentang Kekuatan Politik di Indonesia, sepertinya kurang lengkap jika kita tidak menyebutkan tentang sumber-sumber dari kekuatan politik itu sendiri. Meskipun dalam beberapa literatur Demokrasi Pancasila secara implisit ditafsirkan sebagai nama lain Orde Baru, yang senantiasa menggunakan Pancasila sebagai propagandanya, kami menganggap prinsip-prinsip sumber kekuatan politik yang akan disebutkan ini masih relevan dengan keadaan dewasa ini. Berikut adalah sumber-sumber kekuatan politik dalam Demokrasi Pancasila.
1.               ABRI; yang tetap konsisten terhadap Sumpah Prajurit Sapta Marga sehingga seluruh jajaran Angkatan Bersenjata mempunyai kesatuan dan kekompakan yang kuat untuk menopang kelanjutan dan kesinambungan Sistem Politik Indonesia.
2.               Pancasila; sebagai ideologi bangsa Indonesia yang ditetapkan sejak sidang PPKI 18 Agustus 1945.
3.               UUD 1945; sebagai aktualisasi dari pernyataan kemerdekaan Indonesia yang mengikat seluruh rakyat Indonesia secara konstitusional.
4.               Rakyat Indonesia; yang memiliki kesadaran dan toleransi yang cukup tinggi karena karakteristiknya sebagai bangsa yang ramah tamah.
5.               Bangsa Indonesia; yang mengutamakan persatuan dan kesatuan daripada perpecahan, menghargai adanya ketegakan demokrasi dalam segala sendi kehidupan bermasyarakat, dan kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
6.               Sistem sosial dan Sistem Budaya Indonesia; yang lebih menunjang terhadap terwujudnya keamanan dan ketertiban karena prinsipnya yang saling memperhatikan dan memajukan.
7.               Kesadaran generasi muda intelektual; baik dalam kepedulian terhadap masalah-masalah sosial maupun keinginan meningkatkan kualitas dirinya.
8.               Sumber daya alam di Indonesia; yang tersedia melimpah dan menantikan pengolahan secara efektif untuk kesejahteraan rakyat.

  B.     Masa pemerintahan orde baru
Runtuhnya Orde Baru

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
1.                  Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
2.                  Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.
Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia. Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI).
Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan. Penegasan Politik GerakanDalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb:
1)                  Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen;
2)                  Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain;
3)                  Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut.
Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya.
Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.
Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards. Masalah Toleransi Agama, Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan antar umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin toleransi itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut agama lain.
Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin di batasi bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijaksanaan di kalangan ABRI yang sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam. Dalam Kongres VII juga menyampaikan memorandum kepada pemerintah mengenai masalah politik dan ekonomi. Dan isi dari memorandum tak lain adalah manifestasi dari komitmen terhadap ideology Pancasila.
Kelebihan dan Kekurangan sistem Pemerintahan Orde Baru
Ø  Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996     telah mencapai lebih dari AS$1.000
1.      Sukses transmigrasi
2.      Sukses KB.
3.      Sukses memerangi buta huruf Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
4.      Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
5.      Pembangunan Indonesia yang tidak merata
Ø  Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin).
1.      Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan.
2.      Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang ditahan

      C.    Masa Reformasi
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama. Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.
Pemerintahan B.J Habibie
Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas danMuchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang olehMahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.
Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia. Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dariDana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemeintahan Abdurahman Wahid.
 Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati soekarno putri
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
 Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen. Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY yang di tanam sejak tahun 2004 telah mengantar beliau naik kembali duduk di kursi presiden dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu tahun 2009, kinerja mereka pun belum dapat dirasakan dengan maksimal.
 Kebijakan Ekonomi pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tujuannya adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada TrilogiPembangunan, yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1)                  Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2)                  Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3)                  Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional disusun Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang meliputi kurun waktu 25-30 tahun. Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 25 tahun pertama dimulai tahun 1969 – 1994. Sasaran utama PJP I adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan tercapainya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian. Selain jangka panjang juga berjangka pendek. Setiap tahap berjangka waktu lima tahun. Tujuan pembangunan dalam setiap pelita adalah pertanian, yaitu meningkatnya penghasilan produsen pertanian sehingga mereka akan terangsang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari yang dihasilkan oleh sektor industri. Sampai tahun 1999, pelita di Indonesia sudah dilaksanakan sebanyak 6 kali.
Dalam membiayai pelaksanaan pembangunan, tentu dibutuhkan dana yang besar. Di samping mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, pemerintah juga mencari bantuan kredit luar negeri. Dalam hal ini, badan keuangan internasional IMF berperan penting. Dengan adanya pembangunan tersebut, perekonomian Indonesia mencapai kemajuan. Meskipun demikian, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup besar hanya dinikmati para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan dan landasan ekonomi yang mantap sehingga ketika terjadi krisis ekonomi dunia sekitar tahun 1997, Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun dalam fondasi yang rapuh. Bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi dan krisis moneter yang cukup berat. Bantuan IMF ternyata tidak mampu membangkitkan perekonomian nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998.

Perbandingan Politik Orde Lama dengan Politik Orde Baru

Selama hampir 57 tahun sebagai bangsa merdeka kita dihadapkan pada panggung sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan dengan dekorasi, setting, aktor, maupun cerita yang berbeda-beda. Setiap pentas sejarah cenderung bersifat ekslusif dan Steriotipe. Karena kekhasannya tersebut maka kepada setiap pentas sejarah yang terjadi dilekatkan suatu atribut demarkatif, seperti ORDE LAMA, ORDE BARU dan kini ORDE REFORMASI.
Karena esklusifitas tersebut maka sering terjadi pandangan dan pemikiran yang bersifat apologetik dan keliru bahwa masing-masing Orde merefleksikan tatanan perpolitikan dan ketatanegaraan yang sama sekali berbeda dari Orde sebelumnya dan tidak ada ikatan historis sama sekali.
Orde Baru lahir karena adanya Orde Lama, dan Orde Baru sendiri haruslah diyakini sebagai sebuah panorama bagi kemunculan Orde Reformasi. Demikian juga setelah Orde Reformasi pastilah akan berkembang pentas sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan lainnya dengan setting dan cerita yang mungkin pula tidak sama.
Dari perspektif ini maka dapat dikatakan bahwa Orde Lama telah memberikan landasan kebangsaan bagi perkembangan bangsa Indonesia. Sementara itu Orde Baru telah banyak memberikan pertumbuhan wacana normatif bagi pemantapan ideologi nasional, terutama melalui konvergensi nilai-nilai sosial-budaya (Madjid,1998) Orde Reformasi sendiri walaupun dapat dikatakan masih dalam proses pencarian bentuk, namun telah menancapakan satu tekad yang berguna bagi penumbuhan nilai demokrasi dan keadilan melalui upaya penegakan supremasi hukum dan HAM. Nilai-nilai tersebut akan terus di Justifikasi dan diadaptasikan dengan dinamika yang terjadi. Dalam arti ini, apa yang disuarakan Soekarno tentang ‘negara kebangsaan’ di tahun 1945 tidak berbeda jauh dengan konsep ‘pembangunan bangsa’ yang digelorakan orde baru hingga (orde) reformasi sekarang ini. Karena itu benar bahwa pembangunan yang digiatkan dalam orde reformasi dan selama orde baru merupakan mata rantai dari perjuangan menuju pintu gerbang kemerdekaan yang digelorakan Soekarno ketika bersama para pemuda menyatakan kemerdekaan bangsa ini. Perjuangan menuju pintu gerbang ini bertali temali dengan landasan persatuan yang ditonggaki Budi Utomo. Seterusnya semangat Budi Utomo ini ditiupi oleh nafas yang ada dalam dada para pahlawan yang menentang penjajah.
Masing-masing era, kurun waktu, orde, karena itu, tidak terlepas satu sama lain dan saling mengeksklusifkan. Setiap orde, kurun, waktu, masa itu kerap diterima sebagai babak baru yang lahir sebagai reaksi sekaligus koreksi terhadap orde sebelumnya. Semangat Budi Utomo digelorakan kembali oleh Soekarno melalui proklamasi kemerdekaan dan orde lama. Berjalan di luar rel, orde lama kemudian diganti dengan orde baru. Kendati banyak ketimpangan, harus diakui bahwa orde lama merupakan anak zaman pada masanya.
Tesis politik yang dicetuskan orde baru di awal kelahirannya sangat jelas, yakni demokratisasi politik di samping perbaikan ekonomi. Tesis inilah yang meromantisasikan perlawanan sosial menentang sistem politik yang tidak demokratis dan sistem ekonomi yang hancur-hancuran di zaman orde lama. Gilang gemilang hasil pembangunan orde baru memang sungguh menakjubkan. Masyarakat di bawah orde baru telah berkembang sangat pesat. Namun harus diterima bahwa perkembangan itu adalah perkembangan elitis dalam sistem politik yang tunggal dan monolitik. Pilihan model pembangunan yang bercorak teknokratis yang secara sengaja memperlemah kekuatan politik non negara untuk menghindari bargaining politik kemudian melahirkan begitu banyak ketimpangan dalam orde baru. Karena itulah ketika desakan arus bawah semakin kuat dan dengan didorong hasrat mau maju, orde baru kemudian ditentang. Orde yang berjalan lebih dari tiga dasawarsa ini kemudian tumbang dan lahirlah orde yang lebih lazim disebut sebagai (orde) reformasi.
PEMERINTAHAN REFORMASI
Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang.
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.
Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:
a. masa depan Reformasi;
b. masa depan ABRI;
c. masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d. masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya; serta
e. masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.

Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.
a.    Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
1.      UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik
2.      UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
3.      UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
b.    Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

c.    Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).

d.   Pelaksanaan Pemilu
 Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.

4.    PEMERINTAH INDONESIA BERSATU
PEMERINTAHAN INDONESIA BERSATU JILID I  (ERA SBY-JK) == (2004-2009).
Kabinet Indonesia Bersatu (InggrisUnited Indonesia Cabinet) adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.
Kabinet ini dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya, Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu pada awal pembentukan (21 Oktober 2004), perombakan pertama (7 Desember 2005), dan perombakan kedua (9 Mei 2007).
Pada periode ini, pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.

PEMERINTAHAN INDONESIA BERSATU JILID II (ERA SBY-BOEDIONO) (2009-2014).
Kabinet Indonesia Bersatu II (InggrisSecond United Indonesia Cabinet) adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil PresidenBoediono. Susunan kabinet ini berasal dari usulan partai politik pengusul pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009 yang mendapatkan kursi di DPR (Partai DemokratPKSPANPPP, dan PKB) ditambah Partai Golkar yang bergabung setelahnya, tim sukses pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009, serta kalangan profesional. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II diumumkan oleh Presiden SBY pada 21 Oktober 2009 dan dilantik sehari setelahnya. Pada 19 Mei 2010, Presiden SBY mengumumkan pergantian Menteri Keuangan.
Pada periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
1.      BI rate
2.      Nilai tukar
3.      Operasi moneter
4.      Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas modal.
Dengan kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Kinerja Pemerintahan SBY - Tak terasa sudah 1 tahun pemerintahan SBY jilid II berjalan, Namun masih saja dianggap gagal serta mendapat rapor merah dari beberapa kalangan. Dan kali ini pengamat ekonomi dunia pun ikut bicara terkait dengan kinerja pemerintahan SBYyang sudah 1 tahun ini. Perolehan suara 60 % dalam Pilpres 2009 dan mendapat dukungan mayoritas di parlemen ternyata belum bisa dioptimalkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono untuk melakukan langkah-langkah yang konkrit dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Di mata pengamat ekonomi politik dari Northwestern University, Amerika Serikat, Prof Jeffrey Winters, buruknya kinerja pemerintahan SBY tidak lepas dari sikap Presiden SBY dalam menjalankan pemerintahan. SBY dianggap lebih suka terlihat cantik, santun dan berambut rapi di depan kamera dibanding bekerja keras mengatasi persoalan-persoalan yang ada di Indonesia.
Apa pandangan Anda terhadap kinerja SBY-Boediono selama menjalankan pemerintahan?
Sampai saat ini dilihat kinerja pemerintahan SBY-Boediono rendah. Dan perlu dicatat prestasi yang rendah kepemimpinan SBY bukan sesuatu yang baru. Karena sejak 2004 memang kinerjanya tidak pernah tinggi. Jadi kombinasi SBY-Kalla yang sudah mengecewakan menjadi lebih parah dengan kombinasi SBY-Boediono.
Meski pada masa SBY-JK kinerjanya buruk, paling tidak Jusuf Kalla dikenal sebagai orang yang tidak sabar dan sering mendorong SBY untuk bertindak dan ambil keputusan. Tetapi akhirnya Kalla menjadi capek, frustrasi dan memilih lepas saja. Tapi lepas dari itu semua pemerintahan SBY juga sudah melakukan tugas-tugas yang seharusnya dilakukan walaupun belum maksimal. 

1 komentar:

  1. Hari baik untuk semua warga negara Indonesia dan juga seluruh ASIA, nama saya adalah Ibu Nurliana Novi, saya ingin membagikan kesaksian hidup saya di sini mengenai platform ini untuk semua warga negara Indonesia dan seluruh asia untuk berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Allah telah mendukung saya melalui ibu Nyonya Elina yang baik

     Setelah beberapa saat mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan ditolak terus, maka saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tapi saya ditipu dan kehilangan Rp 15.000.000 dengan pinjaman pinjaman yang berbeda.

    Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi saya berdiskusi dengan seorang teman saya yang kemudian memperkenalkan saya kepada Nyonya Elina, pemilik perusahaan pinjaman global, jadi teman saya meminta saya untuk melamar dari Nyonya Elina, jadi saya mengumpulkan keberanian dan menghubungi Mrs. Elina.

    Saya mengajukan pinjaman sebesar Rp500.000.000 dengan tingkat bunga 2%, sehingga pinjaman tersebut disetujui dengan mudah tanpa tekanan dan semua pengaturan dilakukan sehubungan dengan pengalihan kredit, karena tidak memerlukan jaminan dan jaminan pinjaman. Transfer saya hanya diberitahu untuk mendapatkan sertifikat perjanjian lisensi aplikasi Mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari dua jam uang pinjaman telah dimasukkan ke rekening bank saya.

    Saya pikir itu adalah lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya dikreditkan sebesar Rp500.000.000. Saya sangat senang bahwa ALLAH akhirnya menjawab doaku dengan memesan pinjaman saya dengan pinjaman awal saya, yang telah memberi saya keinginan hati saya.


    Mereka juga memiliki tim ahli yang akan memberi tahu Anda tentang jenis bisnis yang ingin Anda investasikan dan bagaimana menginvestasikan uang Anda, sehingga Anda tidak akan pernah bangkrut lagi dalam hidup Anda.


    Semoga ALLAH memberkati Ibu Elina karena telah membuat hidup saya mudah, jadi saya menyarankan siapapun yang tertarik untuk mendapatkan pinjaman agar dapat menghubungi Ibu Elina melalui email: elinajohnson22@gmail.com untuk pinjaman Anda

    Akhirnya saya ingin mengucapkan terima kasih untuk meluangkan waktu untuk membaca kesaksian tentang kehidupan sejati saya tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan akan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda.
    Satu lagi nama saya adalah mrs nurliana novi, Anda bisa menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui email saya: nurliananovi96@gmail.com

    BalasHapus

Ekologi dan Konsep Pemerintahan

Ekologi Pemerintahan, terdiri dari dua suku kata, yaitu Ekologi dan Pemerintahan. Ekologi adalah bagian dari Biologi murni, yang merupakan...